Aku ingat betul gimana rasanya saat kehidupanku dan
keluargaku berada pada puncaknya. Mau beli apapun, mau pergi kemanapun itu ga
jadi masalah. Semuanya bisa dibeli dengan uang. Keluargaku yang dulu-dulunya
adalah keluarga yang kekurangan saat itu berubah menjadi lebih baik. Dihormati orang-orang,
disegani tetangga-tetangga, banyak orang terbantu terutama dari segi mata
pencaharian. Kalian tau sendiri kan kampung kami kebanyakan sawah, kebanyakan
mata pencahariannya tani dan buruh. Adanya usaha konveksi ibu tetangga sekitar
sedikit terbantu dengan bekerja pada ibu. Ibu adalah sosok yang sangat
menginspirasiku sampai saat ini. Kebaikannya pada orangtuanya, keluarganya,
kerabatnya, tetangganya, karyawannya dan lain-lain. Seseorang yang sangat gigih
dan giat bekerja, tak pernah kenal lelah, mempunyai mimpi-mimpi yang sangat
besar, rasa sayangnya pada keluarga, dermawan, bertanggungjawab pada keluarga,
pejuang hidup yang tangguh :’) setiap aku bercerita tentang ibu pasti aku
netesin air mata, seperti sekarang ini :( ga tau juga sih reflek gitu aja. Allohummagfirlaha war hamha wa ‘afihii wa’ fu ‘anha.
Aammiin.
Sekitar ahun 2003 adalah puncak kejayaan usaha ibu dan
bibiku. Oh ya bibi ku sebut saja bi Nina (samaran) sudah mempunyai rumah
sendiri di atas rumah kami. Hanya berjarak kisaran 20 meter dari rumahku. Dan bibiku
kala itu menikah lagi dengan seorang pengusaha sapi dari kampung sebelah. Dan bibiku
itu adalah madunya. Terlalu private sebenarnya aku harus bercerita masalah ini
dalam blogku yang bisa dilihat banyak orang. Bukan aku membuka aib keluarga,
aku hanya ingin sedikit bercerita dan mudah-mudahan setiap yang aku ceritakan
bisa menginspirasi banyak orang dan kita semua bisa mengambil hikmah dari
setiap perjalanan hidupku. Selain itu aku meminta kritik dan sarannya dari
semua pembaca. Terimakasih sebelumnya ya :)
Kembali lagi pada bibiku. Karena usaha ibu sudah mulai rada
goncang, dan modalnya semakin berkurang. Hadirlah suami dari bi Nina yang
pengusaha itu. Ia membantu dari segi modal. Akhirnya usaha bisa kembali stabil
dan jalan. Sampai bisa menikahkan anaknya Wa Diyat (samaran) dirumah bibiku,
sampai bisa potong sapi waktu itu. Terbilang mewah lah di kampungku. Wa Diyat
adalah uwa dari ibu yang tinggal bersama kami, sakit diabetes dan sudah ceerai
dengan istrinya. Masih ingat kan?
Tapi kestabilan itu tidak belangsung lama. Anehnya ya waktu
barang-barang di jual di tanah abang setiap barang produksi ibu tidak laku
tetapi barang produksi Pak Haji (Suami bi Nina) itu laku, padahal sama-sama di
produksi ibu. Hanya dibedakan dari kepemilikannya saja pedahal. Bi Nina masih
terus berjualan saja karena termodali oleh Pak Haji. Ibu sudah kehabisan modal,
hutang dimana-dimana, karyawan harus dibayar. Usaha ibu sudah di ujung tanduk! Sedangkan
bi Nina masih bisa memasarkan barang-barang dari orang lain seperti dari tasik,
soreang, dll. Masih ada yang memodali.
Ibu mulai berpikir dan berpikir harus dibawa kemana
perusahaannya. Ibu mulai memberhentikan karyawan-karyawannya. Tidak tersisa
karyawan yang stay di rumah satu pun. Dengan sedikit uang yang masih ada ibu
beli kain korea yang waktu itu ngehits dan dibuatlah kerudung “tsunami” (yang
langsung pakai ada petnya). Masih ada 1-2 orang karyawan yang menjahit saja
seingat aku. Mereka adalah tetangga dekat. Dan ga terlalu banyak produksi juga.
Usaha rumahan saja. Kemudian kerudung polos yang sudah jadi ibu tempelkan
manik-manik pada petnya, kala itu memang sedang musim sekali kerudung model
seperti itu. Dan dijual ke pasar-pasar kecil saja dengan kuantitas yang ga
terlalu banyak. Oh ya pernikahan bi Nina dan Pa Haji tidak berlangsung lama
hanya 1 tahun lebih saja :( Pa Haji kembali lagi pada istri pertamanya :)
Usaha ibu makin hari makin ga jelas sedangkan angsuran pada
bank harus di bayar tiap bulannya. Mulai satu persatu perabotan rumah dan
mesin-mesin di jual untuk menutup hutang :’) kebun, sawah, kolam ikan di jual
juga karena pemasukan kurang untuk membayar hutang :’) ayah kemana? Dia tidak
seperti ibu yang sangat bertanggungjawab, tidak punya banyak skill, dan
cenderung mencari titik aman. Hanya ke sawah, dan sedikit membantu pekerjaan di
rumah. Terlalu enak menggantungkan hidup pada ibu yang dulu serba ada. Dan sekarang
sudah berada di titik yang sangat curam, dia tidak bisa berbuat apa-apa :(((
Ibu bilang waktu itu, bagaimana kalau ibu menjadi tkw saja
ke Arab. Aku sangat tidak setuju. Aku marah dan aku kesal sekali. Aku tidak
bisa jauh dari ibu, aku masih kecil, aku butuh ibu, aku nyaman bersama ibu, aku
harus dengan siapa kalo tidak dengan ibu, bagaimana sekolahku nanti, bagaimana
biaya-biayaku nanti, uang jajanku aku harus minta dari siapa?. Begitu lah
kurang lebihnya yang ada di kepala gadis
kelas 4 SD itu. Aku tau niat ibu baik. Pikiran ibu sudah buntu memang saat itu.
Mengingat tiap hari dikejar-kejar hutang membuat ibu sedikit depresi. Sedangkan
anak-anaknya harus tetap sekolah dan terbiayai. Aku mungkin akan mengerti saat
itu kalau aku sudah sebesar sekarang ini :’)
Bi Nina menikah lagi, tepatnya dengan orang Tasik. Dan ini
adalah pernikahannya yang ke 4. Hehe Dan anaknya Aska (samaran) bersama nenek.
Bibiku ini bukan tipe cewe rumahan atau ibu rumah tangga. Sukanya dagang, nyari
uang. Terbiasa dari dulu mungkin semenjak bercerai dengan suami pertamanya atau
ayahnya Aska. Usaha Bi Nina saat itu masih jalan. Masih ada orang yang mempercayai
ngasih barang untuk dijual tanpa harus membayar dp, ada juga yang pakai dp. Dibantu
dengan suami barunya Bagas (samaran) dia masih bisa jualan ke pasar-pasar
kecil. Dan kalian harus tahu kalo bi nina itu gemuk, pendek, hitam, tidak
cantik sih. Tapi dia nya sendiri yang suka ngaku cantik. Haha aku memang sangat
dekat dengan bi Nina jadi maklum kalo sering bercanda. Oh ya dan Bagas ini
menurutku terlalu tampan untuk seorang bi Nina, badannya tegap, hidung mancung,
dan wajahnya mirip-mirip artis gitu. Berbeda sekali dengan Pa Haji yang selisih
umurnya lumayan jauh dgn Bi Nina. Wkwk Maapkan aku ya kubiiiiin (panggilan
sayang ke bi Nina) :D
Pada waktu itu bi Nina masih mempunya toko di Tanah Abang,
dan dia juga bertemu dengan Bagas ini di Tanah Abang. Bagas ngakunya sih dia
juga dagang di Tanah Abang. Karena usulan dari Bagas, bi Nina menjual Toko yang
di tanah abang dan hasilnya dibelikan ke mobil carry merah marron (aku ingat
bener). Dan kalian tau, mobil itu harus atas nama Bagas. Bi Nina hanya menurut
saja. Entah apa yang membuatnya sangat menurut kpd laki-laki itu. Dia yang tadinya
mengaku duda lama-lama terbongkar kalau dia punya anak istri yang masih sah,
dan dia yang ngaku bos ternyata bullshitt. Bi Nina yang tadinya mulutnya
bungkam seperti terkunci tidak mau cerita apa-apa kepada keluarga akhirnya
mulai terbuka. Dan bi Nina mencari tahu latar belakangnya si Bagas menyusul ke
rumah neneknya yang ada di atas gunung Tasikmalaya. Dan terdengar kabar kalo si
Bagas itu penipu, punya istri dan anak, dan dulu saat bertemu bi Nina di Tanah
Abang dia hanya seorang Supir bosnya yang juga jualan di Tanah Abang bukan
seorang bos seperti yang diucapkannya. Benar-benar penipu kelas kakap! Mobil
sudah atas nama si Bagas dan barang-barang jualan yang statusnya di amanahkan
untuk dijual di bawanya kabur entah kemana! Dia menghilang bak ditelan waktu!
Bi Nina tertipu! Tertipu ketampanannya, tertipu omong kosongnya, tertipu
statusnya, tertipu segala-galanya :( Usaha bi Nina hancur. Tapi Bi Nina masih
punya satu kios di Kotaku sehingga masih ada pemasukan meskipun kios juga mulai
sepi.
Sangat menguras emosi sekali kalau aku bercerita masa lalu
kehidupanku :’) Penuh dengan liku, tanjakan dan turunan curam :’) terlalu panjang, next aku cerita di judul baru :) semoga bisa mengambil hikmah dari setiap partnya :')
Tidak ada komentar:
Posting Komentar