Kamis, 06 Oktober 2016

Diujung Tanduk..

Aku ingat betul gimana rasanya saat kehidupanku dan keluargaku berada pada puncaknya. Mau beli apapun, mau pergi kemanapun itu ga jadi masalah. Semuanya bisa dibeli dengan uang. Keluargaku yang dulu-dulunya adalah keluarga yang kekurangan saat itu berubah menjadi lebih baik. Dihormati orang-orang, disegani tetangga-tetangga, banyak orang terbantu terutama dari segi mata pencaharian. Kalian tau sendiri kan kampung kami kebanyakan sawah, kebanyakan mata pencahariannya tani dan buruh. Adanya usaha konveksi ibu tetangga sekitar sedikit terbantu dengan bekerja pada ibu. Ibu adalah sosok yang sangat menginspirasiku sampai saat ini. Kebaikannya pada orangtuanya, keluarganya, kerabatnya, tetangganya, karyawannya dan lain-lain. Seseorang yang sangat gigih dan giat bekerja, tak pernah kenal lelah, mempunyai mimpi-mimpi yang sangat besar, rasa sayangnya pada keluarga, dermawan, bertanggungjawab pada keluarga, pejuang hidup yang tangguh :’) setiap aku bercerita tentang ibu pasti aku netesin air mata, seperti sekarang ini :( ga tau juga sih reflek gitu aja.  Allohummagfirlaha war hamha wa ‘afihii wa’ fu ‘anha. Aammiin.

Sekitar ahun 2003 adalah puncak kejayaan usaha ibu dan bibiku. Oh ya bibi ku sebut saja bi Nina (samaran) sudah mempunyai rumah sendiri di atas rumah kami. Hanya berjarak kisaran 20 meter dari rumahku. Dan bibiku kala itu menikah lagi dengan seorang pengusaha sapi dari kampung sebelah. Dan bibiku itu adalah madunya. Terlalu private sebenarnya aku harus bercerita masalah ini dalam blogku yang bisa dilihat banyak orang. Bukan aku membuka aib keluarga, aku hanya ingin sedikit bercerita dan mudah-mudahan setiap yang aku ceritakan bisa menginspirasi banyak orang dan kita semua bisa mengambil hikmah dari setiap perjalanan hidupku. Selain itu aku meminta kritik dan sarannya dari semua pembaca. Terimakasih sebelumnya ya :)

Kembali lagi pada bibiku. Karena usaha ibu sudah mulai rada goncang, dan modalnya semakin berkurang. Hadirlah suami dari bi Nina yang pengusaha itu. Ia membantu dari segi modal. Akhirnya usaha bisa kembali stabil dan jalan. Sampai bisa menikahkan anaknya Wa Diyat (samaran) dirumah bibiku, sampai bisa potong sapi waktu itu. Terbilang mewah lah di kampungku. Wa Diyat adalah uwa dari ibu yang tinggal bersama kami, sakit diabetes dan sudah ceerai dengan istrinya. Masih ingat kan?
Tapi kestabilan itu tidak belangsung lama. Anehnya ya waktu barang-barang di jual di tanah abang setiap barang produksi ibu tidak laku tetapi barang produksi Pak Haji (Suami bi Nina) itu laku, padahal sama-sama di produksi ibu. Hanya dibedakan dari kepemilikannya saja pedahal. Bi Nina masih terus berjualan saja karena termodali oleh Pak Haji. Ibu sudah kehabisan modal, hutang dimana-dimana, karyawan harus dibayar. Usaha ibu sudah di ujung tanduk! Sedangkan bi Nina masih bisa memasarkan barang-barang dari orang lain seperti dari tasik, soreang, dll. Masih ada yang memodali.

Ibu mulai berpikir dan berpikir harus dibawa kemana perusahaannya. Ibu mulai memberhentikan karyawan-karyawannya. Tidak tersisa karyawan yang stay di rumah satu pun. Dengan sedikit uang yang masih ada ibu beli kain korea yang waktu itu ngehits dan dibuatlah kerudung “tsunami” (yang langsung pakai ada petnya). Masih ada 1-2 orang karyawan yang menjahit saja seingat aku. Mereka adalah tetangga dekat. Dan ga terlalu banyak produksi juga. Usaha rumahan saja. Kemudian kerudung polos yang sudah jadi ibu tempelkan manik-manik pada petnya, kala itu memang sedang musim sekali kerudung model seperti itu. Dan dijual ke pasar-pasar kecil saja dengan kuantitas yang ga terlalu banyak. Oh ya pernikahan bi Nina dan Pa Haji tidak berlangsung lama hanya 1 tahun lebih saja :( Pa Haji kembali lagi pada istri pertamanya :)

Usaha ibu makin hari makin ga jelas sedangkan angsuran pada bank harus di bayar tiap bulannya. Mulai satu persatu perabotan rumah dan mesin-mesin di jual untuk menutup hutang :’) kebun, sawah, kolam ikan di jual juga karena pemasukan kurang untuk membayar hutang :’) ayah kemana? Dia tidak seperti ibu yang sangat bertanggungjawab, tidak punya banyak skill, dan cenderung mencari titik aman. Hanya ke sawah, dan sedikit membantu pekerjaan di rumah. Terlalu enak menggantungkan hidup pada ibu yang dulu serba ada. Dan sekarang sudah berada di titik yang sangat curam, dia tidak bisa berbuat apa-apa :(((

Ibu bilang waktu itu, bagaimana kalau ibu menjadi tkw saja ke Arab. Aku sangat tidak setuju. Aku marah dan aku kesal sekali. Aku tidak bisa jauh dari ibu, aku masih kecil, aku butuh ibu, aku nyaman bersama ibu, aku harus dengan siapa kalo tidak dengan ibu, bagaimana sekolahku nanti, bagaimana biaya-biayaku nanti, uang jajanku aku harus minta dari siapa?. Begitu lah kurang lebihnya yang  ada di kepala gadis kelas 4 SD itu. Aku tau niat ibu baik. Pikiran ibu sudah buntu memang saat itu. Mengingat tiap hari dikejar-kejar hutang membuat ibu sedikit depresi. Sedangkan anak-anaknya harus tetap sekolah dan terbiayai. Aku mungkin akan mengerti saat itu kalau aku sudah sebesar sekarang ini :’)

Bi Nina menikah lagi, tepatnya dengan orang Tasik. Dan ini adalah pernikahannya yang ke 4. Hehe Dan anaknya Aska (samaran) bersama nenek. Bibiku ini bukan tipe cewe rumahan atau ibu rumah tangga. Sukanya dagang, nyari uang. Terbiasa dari dulu mungkin semenjak bercerai dengan suami pertamanya atau ayahnya Aska. Usaha Bi Nina saat itu masih jalan. Masih ada orang yang mempercayai ngasih barang untuk dijual tanpa harus membayar dp, ada juga yang pakai dp. Dibantu dengan suami barunya Bagas (samaran) dia masih bisa jualan ke pasar-pasar kecil. Dan kalian harus tahu kalo bi nina itu gemuk, pendek, hitam, tidak cantik sih. Tapi dia nya sendiri yang suka ngaku cantik. Haha aku memang sangat dekat dengan bi Nina jadi maklum kalo sering bercanda. Oh ya dan Bagas ini menurutku terlalu tampan untuk seorang bi Nina, badannya tegap, hidung mancung, dan wajahnya mirip-mirip artis gitu. Berbeda sekali dengan Pa Haji yang selisih umurnya lumayan jauh dgn Bi Nina. Wkwk Maapkan aku ya kubiiiiin (panggilan sayang ke bi Nina) :D

Pada waktu itu bi Nina masih mempunya toko di Tanah Abang, dan dia juga bertemu dengan Bagas ini di Tanah Abang. Bagas ngakunya sih dia juga dagang di Tanah Abang. Karena usulan dari Bagas, bi Nina menjual Toko yang di tanah abang dan hasilnya dibelikan ke mobil carry merah marron (aku ingat bener). Dan kalian tau, mobil itu harus atas nama Bagas. Bi Nina hanya menurut saja. Entah apa yang membuatnya sangat menurut kpd laki-laki itu. Dia yang tadinya mengaku duda lama-lama terbongkar kalau dia punya anak istri yang masih sah, dan dia yang ngaku bos ternyata bullshitt. Bi Nina yang tadinya mulutnya bungkam seperti terkunci tidak mau cerita apa-apa kepada keluarga akhirnya mulai terbuka. Dan bi Nina mencari tahu latar belakangnya si Bagas menyusul ke rumah neneknya yang ada di atas gunung Tasikmalaya. Dan terdengar kabar kalo si Bagas itu penipu, punya istri dan anak, dan dulu saat bertemu bi Nina di Tanah Abang dia hanya seorang Supir bosnya yang juga jualan di Tanah Abang bukan seorang bos seperti yang diucapkannya. Benar-benar penipu kelas kakap! Mobil sudah atas nama si Bagas dan barang-barang jualan yang statusnya di amanahkan untuk dijual di bawanya kabur entah kemana! Dia menghilang bak ditelan waktu! Bi Nina tertipu! Tertipu ketampanannya, tertipu omong kosongnya, tertipu statusnya, tertipu segala-galanya :( Usaha bi Nina hancur. Tapi Bi Nina masih punya satu kios di Kotaku sehingga masih ada pemasukan meskipun kios juga mulai sepi.

Sangat menguras emosi sekali kalau aku bercerita masa lalu kehidupanku :’) Penuh dengan liku, tanjakan dan turunan curam :’) terlalu panjang, next aku cerita di judul baru :) semoga bisa mengambil hikmah dari setiap partnya :')



Tidak ada komentar:

Posting Komentar