Kamis, 06 Oktober 2016

IJTIHAD

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Transformasi pemikiran dan ijtihad merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dalam kajian Hukum Islam ataupun Ilmu Ushul Fiqh, karena memang kajian ilmu ini merupakan suatu pengkajian tentang metode yang digunakan dalam menggali dan menetapkan hukum syar’i dari nash. Dengan demikian berarti merupakan kumpulan kaidah metodologis yang titik beratnya menjelaskan tentang tata cara mengambil hukum dari dalil-dalil syara’ termasuk di dalamnya kajian tentang istimbath dan ijtihad. Kajian ini sangat kursial dalam pembahasan metode ijtihad, karena melalui kajian ini seseorang mujtahid akan mengetahui bagaimana tata cara mempergunakan dalil dan mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya serta ketentuan umum yang ditempuh dalam menetapkan hukum dan tujuan menetapkan hukum bagi subyek hukum (mukallaf).
Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam penetapan hukum banyak dijumpai tentang dalill-dalil yang dipergunakan dalam penetapan hukum, urutan-urutan dalil dan sebagainya. Demikian pula halnya ketika seorang Mujtahid membicarakan tentang penggalian hukum diungkapkan mengenai tujuan penetapan hukum. Khitab Allah yang mengandung ketentuan hukum merupakan aturan dasar yang bersifat garis besarnya saja.
Khitab Allah SWT. merupakan aturan yang mengatur segenap pebuatan orang dewasa (mukallaf) di muka bumi ini tentu ada aturan dasarnya. Jika tidak ditemukan secara jelas dan pasti aturan dasar itu tentu akan ditemukan apa yang tersirat dibalik khitab Allah itu, seandainya juga tidak ditemukan dari yang tersirat itu akan ditemukan dalam kandungan maksud Allah dengan menggunakan metodologi pengalian hukum atau yang dikenal dalam istilah terminologi hukum Islam dengan Metode Istimbath Hukum Islam. Selanjutnya khitab Allah SWT. itu yang umumnya bersifat aturan dasar, bersifat umum dan garis besar, agar ketentuan itu dapat dilaksankan secara jelas dan praktis, maka diperlukan kecerdasan akal yang populer dalam dalam istilah terminologi hukum Islam dengan Metode Ijtihad.
Dalam realitas kehidupan hukum umat Islam penggalian dan perumusan (penemuan hukum) yang telah dilakukan oleh imam mujtahid terkadang tanpak menimbulkan perbedaan (ikhtilaf) bahkan tidak jarang menimbulkan umat Islam saling perang urat saraf, di sisi lain kenyataanya kelihatan pula umat Islam anti terhadap perpecahan sehingga tidak heran ada pula sebagian umat Islam menutup rapat-rapat pintu ijtihad dan cukup berpegang dengan hasil ijtihad imam-imam terdahulu sehingga memunculkan dalam dunia Islam sifat terpaku, meingikut dan statis (taqlid). Akibatnya keadaan Hukum Umat Islam terasa kaku dan tidak mampu mejawab kebutuhan hukum umat itu sendiri seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.
Namun yang jelas kebutuhan umat Islam akan sebuah ketentuan hukum sangat diperlukan relevan dengan berkembang ilmu pengetahuan dan tekhnologi mengikuti perkembangan zaman. Pada tataran lain bahwa bukan hukum Islam itu yang kaku, tapi fiqh itu yang telah usang, oleh karena itu perlu adanya ijtihad dalam usaha penggalian hukum sejalan dengan perkembangan zaman.
Sebagaimana yang penulis singgung di atas ternyata ijtihad tidak dapat dipisahkan terlebih jika dilihat dalam konteks kekinian terutama jika dikaitkan dengan upaya aktualisasi ajaran Islam yang bertujuan untuk mengasilkan pemikiran baru. Makalah ini akan mencoba untuk menguraikan tentang kebutuhan ijtihad tersebut dan bentuknya.

2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ijtihad?
2. Sebutkan bentuk-bentuk ijtihad?
3. Apa bentuk ijtihad yang digunakan pada jaman sekarang?













BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ijtihad.
Secara etimologis ijtihad berakar pada kata (ج - ه - د ) yang berarti “kesulitan atau kesusahan.” Dari sudut ilmu sharf kata ijtihad bentuknya mengikuti timbangan (se-wazan) (افتعال ) yang menunjukan arti “berlebih” (mubalaghah) dalam melaksankan suatu perbuatan. Jadi segi bahasa arti ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan atau upaya mengerahkan seluruh kemampuan intelektual dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan. Rumusan singkatnya berijitihad bukanlah kegiatan yang mudah atau ringan, tetapi mengandung kesulitan serta membutuhkan pengerahan tenaga dan daya pikir yang maksimal.
Secara terminologis ijtihad menurut ulama Ushul Fiqh ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terperici. Abdul Wahab Khallaf mendefnisikan ijtihad sebagai pengerahan daya upaya untuk sampai kepada hukum syara’ dan dalil yang terinci, dengan sumber dari dalil-dalil syara’. Muhammad Musa Tuwana juga memberikan defenisi yakni dalam pengerahan segala upaya ahli hukum Islam dalam menggali hukum-hukum syara’ yang berstatus cabang dari dalil-dalilnya.
Sedangkan ijtihad dalam hal yang ada kaitannya dengan hukum adalah mengerahkan segala kesanggupan yang dimiliki untuk dapat meraih hukum yang mengandung nilai-nilai uluhiyah atau mengandung sebanyak mungkin nilai-nilai syari’ah Adapun Ijtihad dalam bidang putusan hakim (qadh’) adalah jalan yang diikuti hakim dalam menetapkan hukum, baik yang berhubungan dngan teks undang-undang maupun dengan mengistinbathkan hukum yang wajib ditetapkan ketika ada nash.
2. Dasar Hukum Ijtihad
Para fuqOha boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam nash Al-Quran. Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu motode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat. . Dasar hukum diperbolehkannya melakukan ijtihad antara lain firman Allah SWT. QS. An-Nisa ayat 59 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً ﴿٥٩﴾
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dari ayat tersebut dapat dipahami kobolehan melakukan ijihad dalam suatu persoalan yang mungkin dalam fonomena kehidupan masyarakat dengan mengacu kepada aturan Allah dan Rasul-Nya. Dan adanya keterangan hadits, yang mombolehkan berijtihad diantaranya, hadits yang diriwayatkan oleh Umar :
اذا حكم الحاكم فاجتهد فاصاب فله اجران واذا حكم ثم اخطاء فله اجر
Jika seorang hakim menghukum sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua pahala, dan bila salah maka ia mendapatkan satu pahala.
3. Syarat-syarat Ijtihad.
Mujtahid mengerahkan segala potensi yang ada padanya, kecerdasan akalnya, kehalusan rasanya, keluasan imajinasinya, ketajaman intuisinya dan keutamaan kearifannya. Sehingga hukum yang dihasilkannya merupakan hukum yang benar. Karena itu seorang mujtahid harus memiliki syarat-syarat tertentu. Ada ulama yang memberikan syarat yang sangat banyak dan ada pula yang hanya menentukan beberapa syarat saja. Ukuran kualitas seorang mujtahid antara lain ditentukan oleh syarat-syarat tersebut. Di antara syarat-syarat yang sangat penting adalah :
1. Mengetahui Al-Quran, As-Sunnah dan bahasa Arab dengan pengetahuan yang luas dan mendalam.
2. Mengetahui maqasid syari’ah, prinsip-prinsip umum dan semangat ajaran Islam.
3. Mengetahui turuq al istitinbath Ushul Fiqh, metode menemukan hukum dan menerapkan hukum, agar hukum hasil ijtihad lebih mendekati kepada kebenaran.
4. Memiliki akhlak yang terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.
Melihat syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, masih obyektifkah kita untuk menerapkan syarat-syarat yang demikian itu, menurut Penulis harus merekonstruksi syarat yang demikian berat karena suatuasi dan kondisi yang berbeda dan berubah.
4. Tata Cara Berijtihad.
Pada prinsipnya ada tiga macam cara dalam melakukan berijtihad untuk menemukan hukum, yaitu :
1. Dengan cara memperhatikan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) seperti kemungkinan-kemungkinan arti sesuatu kata, ruang lingkup kata, pemahaman terhadap kata, gaya bahasa dan lain-lainnya.
2. Dengan menggunakan kaidah-kaidah qiyas (analogi) dengan memperhatikan asal, cabang, hukum asal dan ilat hukum.
3. Dengan memperhatikan semangat ajaran Islam atau roh syariah. Untuk ini sangat menentukan kaida-kaidah kulliyah Ushul Fiqh, kaidah-kaidah kulliyah Fiqiyah, prinsip-prinsip umum hukum Islam dan dalil-dalil kulli.

5. Metode-metode Dalam Berijtihad.
Sebagaimana yang telah dikenal bahwa sumber hukum itu jika diurutkan adalah sebagai Al-Quran, As-Sunnah dan Ijtihad. Kemudian ijma’, qiyas, istihsan, masalahah mursalah, ‘uruf, istishab, dan lainnya digunakan dan ditempatkan sebagai metode sumber hukum Islam dalam lapangan ijtihad. Metode dan pengertian secara singkat diuraikan sebagai berikut :
1.      Qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yangsama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah denganmeter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain denganmencari persamaan-persamaannya.Menurut para ulama ushul fiqh, Qiyas ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwayang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yanglain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadianatau peristiwa itu.
Misalnya hukum minum bir (disebut far‟un) sama dengan hukum minum khamar
(disebut aslun), yaitu haram (disebut hukum asal), karena keduanya sama-sama memabukan (disebut ilathukum). Masalah-masalah yang boleh dilakukan dengan cara ini adalah masalah-masalah atau kejadian-kejadian yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam Alquran dan sunah.
2.      Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushulfiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena adasuatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaranistihsan. Mujtahid yang dikenal banyak memakai Ishtihsan dalam mengistinbathkan hukum adalahImam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Istihsan berbeda dengan qiyas. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illatitu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsanhanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertamadianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
3.      Al-Maslahatul Mursalah
Al-mashlahatul mursalah
adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak  pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakanakan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat mursalah disebut juga mashlahatyang mutlak karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukumdengan cara mashlahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan artiuntuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia. Mujtahid yangdikenal banyak menggunakan metode al-maslahah mursalah adalah Imam Hanbali dan Imam Malik.
4.      Istishhab
Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada hubungannya." Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadiansampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan tetapnyahukum pada masa yang lalu hingga ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada darisuatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkanhukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan padamasa lampau dan dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
5.      ‘Urf
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalanganmereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adatkebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf denganadat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan dikalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibelidan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeliitu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapikarena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, makasalam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karenakeduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahidmembahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwatelah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakatsependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalumereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukumtidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapatkarena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena merekatelah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.
6.      Syar’un Man Qoblana
Yang dimaksud dengan syar'un man qablana ialah syari'at yang dibawa para rasul dahulu, sebelumdiutus Nabi Muhammad saw. yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, sepertisyari'at Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Daud as, Nabi Isa as, dan sebagainya.Pada asas syari'at yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yangsama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan pada firman Allah SWT :
"Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang Ia wajibkan kepada Nuhdan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya. (Q.s. asy-Syûra: 13
Diantara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hariakhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannyaatau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
7.      Sadudz Dzariyah
Secara bahasa Saddudz dzarî'ah tersusun dari dua kata, yaitu saddu dan dzarî'ah. Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzarî'ah berarti jalan. Sedangkan secara istilah berartimenghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî'ah ini ialah untuk memudahkan tercapainyakemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapaikemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syari'at menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, adayang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perluada hal yang harus dikerjakan sebelumnya. Inilah yang dimaksud dengan kaidah:”Setiap sesuatu yang dapat menyempurnakan terlaksananya kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib pula."
Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru dapatmengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapatmengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak wajib. Tetapi karena ia menentukanapakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal iniditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan adayang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzinadan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minumkhamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar  pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar,maka perbuatan itu dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yangsebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.
8.      Ijma’
Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukumdalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Ijma 'artinya kesepakatan-kesepakatan para ulama yakni dalam suatu menetapkan hukum-hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits Dalam Suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yangdilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Adalahkeputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk Kemudian dirundingkan dandisepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulamadan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
9.      Madzhab Sahabah
Semasa RasululIah saw. masih hidup semua masalah yang muncul atau timbul dalam masyarakatlangsung ditanyakan para sahabat kepada RasululIah saw., dan RasululIah saw. memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Setelah RasululIah saw. meninggal dunia, maka kelompok sahabat yang tergolong ahlidalam mengistinbathkan hukum telah berusaha sungguh-sungguh memecahkan persoalan tersebut,sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwasahabat ini diriwayatkan oleh tabi'in, tabi'ut tabi'in dan orang-orang yang sesudahnya, seperti meriwayatkan hadis. Karena itu timbul persoalan, apakah pendapat sahabat itu dapat dijadikan hujjah atau tidak?Sebagian ulama menyatakan bahwa ada dua macam pendapat sahabat yang dapat dijadikan hujjah,yaitu:
a. Pendapat para sahabat yang diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dariRasulullah saw., karena pikiran tidak atau belum dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyiah ra "Kandungan itu tidak akan lebih dari dua tahun dalam perut ibunya, (yaitu tidak akan) lebih dari sepanjang bayang-bayang benda yang ditancapkannya." (H.R. Ad-Daraquthni)
b.Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lainnya, seperti pendapat tentang bahwa nenek mendapat seperenam (1/6) bagian waris, yang dikemukakan oleh Abu Bakar, dantidak ada sahabat yang tidak sependapat dengannya.Sedang pendapat sahabat yang tidak disetujui oleh sahabat yang lain tidak dapat dijadikan hujjah.Pendapat ini dianut oleh golongan Hanafiyah, Malikiyah dan hanabilah, dan sebagian Syafi'iyah, namundidahulukan dari qiyas. Bahkan Ahmad bin Hanbal mendahulukannya dari hadis mursal dan hadis dha'if.As-Syaukani menganggap pendapat sahabat itu seperti pendapat para mujtahid yang lain, tidak adakemestian untuk diikuti.
6.  IJTIHAD MASA MODOREN.
Jika dilihat pengertian ijtihad yang diberikan oleh para ulama Ushul Fiqh (baca : bukan kontemporer), ternyata mereka membatasi ruang lingkup ijtihad kepada persoalan hukum saja. Seseorang yang melakukan pengakajian di luar bidang hukum Islam tidak disebut sebagai mujtahid. Pengertian tersebut terlalu jauh melangkah dari pengertian atau makna ijtihad sesungghnya. Sebab pengkajian yang dilakukan oleh para mujtahid dalam disiplin ilmu hukum tidak berbeda dengan pengakajian yang dilakukanb oleh mujtahid dalam disiplin ilmu lain. Mereka juga membutuhkan pengerahan daya upaya untuk mendapatkan hasil kajian yang mapan dan benar, sebagaimana yang dibutuhkan oleh ulama-ulama yang bergerak dalam disiplin ilmu hukum Islam.
Oleh karena itu sebaiknya pengertian ijtihad dikembalikan kepada pengertian etimologisnya, yakni segala daya upaya yang mengarah kepada pengakajian, baik dalam ilmu hukum maupun ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu kalam atau ilmu tasawuf, yang semuanya itu dikategorikan sebagai ijtihad. Dengan demikian, orang yang terjun ke dalam pengakajian tersebut, dikategorikan sebagai mujtahid. Kalaulah pengertian ijtihad disepadankan dengan pengertian transpormasi pemikiran bahwa ijtihad dikemukakan terdahulu, dapat dipahami bahwa ijtihad merupakan bagian dari transformasi pemikiran. Seorang mujtahid tidak mutlak menjadi seorang tokoh transpormasi, tetapi seorang tokoh transpormasi tergolong mujtahid. Oleh karena itu, ijtihad mempuyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya transpormasi pemikiran.
Mempertegas perbedaan antara ijtihad dengan transpormasi pemikiran. DR. Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa ijtihad lebih ditekakan dalam bidang pemikiran yang bersifat ilmiah, sedangkan transpormasi pemikiran meliputi bidang pemikiran, sikap mental, dan perilaku atau tindakan manusia yang meliputi bidang iman, ilmu, dan amal. Dewasa ini dunia Islam sudah sangat memerlukukan adanya mujtahid dan mujaddid yang profesional. Sebab, kehidupan masyarakat telah diwarnai dengan inovasi di segala bidang, sedangkan nash-nash Al Quran dan Al Hadis tidak menerangan segala persoalan secara tekstual. Dalam keadaan seperti itu, sangat dibutuhkan pemikiran yang bersih dan penuh kesungguhan untuk mengembalikan tatanan kehidupan yang sesuai dengan prinsip dasar ajaran Islam.
Persoalan yang tidak memiliki dasar hukum, misalnya masalah bayi tabung, sewa rahim, bank sprema, dan bursa efek. Sedangkan dalam persoalan yang sudah meiliki dasar hukum, tetapi di dalamnya masih timbul problema baru yang rumit seperti kepemimpinan wanita, hakim wanita, riba dan bunga bank, potong tangan bagi pencuri, vasektomi dan tubektomi, tetap diperlukan hasil pemikiran. Secara makro ijtihad merupakan sub transpormasi pemikiran, yang mempunyai arah dan tujuan untuk mengantisipasi segala persoalan sosial-kemasyarakatan yang muncul dalam dunia Islam sehingga eksistensi universalitas, kedinamisan, dan keluwesan hukum Islam tetap dapat dipertahanakan.
Dalam supremasi IPTEK dewasa ini, keahlian dalam ilmu tetentu sangat dibutuhkan dalam perkembangan kebutuhan manusia dewasa ini. Seorang ulama atau ilmuwan, tidak mungkin lagi menguasai pelbagai disiplin ilmu yang ada. Namun yang terpenting adalah seorang mujtahid harus mengetahui masalah yang dihadapinya dan didukung oleh pengetahuan yang dia miliki tentang masalah yang dihadapinya itu. Misalnya, seorang yang berijtihad dalam masalah ekonomi harus ahli dibidang ekonomi. Demikian pula dalam bidang kedoketeran, bidang politik dan lain-lain. Syarat kehlian tertentu justru berkaitan dengan kualitas pribadi seorang mujtahid.
Kompeleksitas masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini menuntut para mujtahid untuk berusaha mengantisipasi bentuk ijtihad. Pada dasarnya masalah-masalah yang dihadapi itu telah ada dalam Al Quran dan Al Hadis. Tetapi, ada yang dijelaskan secara tegas dan ada yang dijelaskan secara global, karenanya masih memerlukan penalaran secara lebih mendalam. Permasalahan yang dihadapi umat Islam diberbagai tempat bersifat kasustik, artinya tidak semua persoalan yang dihadapi oleh umat Islam suatu tempat sama dengan permasalahan umat Islam di tempat lain.
7.  BENTUK IJTIHAD MASA MODOREN.
Dengan demikian, pentingnya pemakaian ijtihad yang cocok dengan situasi dan kondisi setempat, seperti bentuk-bentuk ijtihad di bawah ini :
1. Ijtihad Intiqa’i.
Di dalam Al Quran dan Al Hadis telah disebutkan patokan-patokan dasar ajaran Islam. Patokan itu memberikan petunjuk bahwa Al Quran dan Al Hadis ada yang bersifat absolut, ada yang bersifat relatif. Keberadaan nash yang mayoritas bersifat relatif merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama dalam memahami maknanya, sehingga hampir semua masalah keagamaan tidak terlepas dari perbedaan-perbedaan pendapat.
Para ulama terdahulu telah memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya, bukan berarti bahwa apa yang mereka tetapkan atau hasilkan delam bentuk ijtihad itu, adalah suatu ketetapan yang final untuk sepanjang masa. Tetapi perlu ditilik kembali apakah sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Sedangkan para mujtahid sekarang dituntut untuk mengadakan studi perbandingan di antara pendapat-pendapat itu dan diteliti dalil-dalil yang dijadikan landasan.
Upaya tersebut bukan berarti menolak pendapat para pendahulu kita, malainkan di transpormasikan sesuai dengan perkembangan zaman. Kita tidak bisa berkomitmen dalam suatu mazhab atau pendapat, melainkan kita harus meneliti secara keseluruhan, agar bisa mendapatkan ketetapan yang kuat menurut pandangan kita sekarang dan lebih sesuai dengan realitas masalah umat Islam.
2. Ijtihad Insya’i.
Ijtihad ini sangat diperlukan karena berbagai permasalahn yang timbul dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sekarang yang pernah terbetik dalam hati para mujtahid terdahulu seperti organ tubuh, donor mata, inseminasi buatan, dan sebagainya. Masalah-masalah ini raib dari pembahasan fiqh klasik dan semuanya memerlukan pemecahan secara ijtihad.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta globalisasi dunia telah banyak membawa pengaruh perubahan pola pikir dan sikap hidup masyarakat. Sikap rasional yang menjadi ciri utama masyarakat moderen membuat praktik-praktik ilmu fiqh kurang mampu lagi menjawab permasalah baru tersebut, bahkan kadangkala fiqh kaku berhadapan dengan zaman kekinian.

3. Ijtihad Komparatif.
Ijtihad komparatif ialah mengabungkan kedua bentuk ijtihad di atas (intiqai dan isnya’i). Dengan demikian di samping untuk menguatkan atau mengkopromikan beberapa pendapat, juga diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan keluar yang lebih sesuai dengan tuntunan zaman.
Pada dasarnya hasil ijtihad yang dihasilkan oleh ulama terdahulu merupakan karya agung tetap utuh, bukanlah menjadi patokan mutlak, melainkan masih memerlukan ijtihad baru. Karena itu, diperlukan kemampuan memngutak-atik hasil sebuah ijtihad, dengan jalam menggabungkan kedua bentuk ijtihad di atas.






BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengertian ijtihad perlu dikembalikan kepada pengertian etimologisnya, yakni segala daya upaya yang mengarah kepada pengakajian, baik dalam ilmu hukum maupun ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu kalam atau ilmu tasawuf, yang semuanya itu dikategorikan sebagai ijtihad.
2. Kompeleksitas masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini menuntut para mujtahid untuk berusaha mengantisipasi bentuk ijtihad.
3. Ijtihad yang cocok dengan situasi jaman sekarang, seperti bentuk-bentuk ijtihad : ijtihad Intiqa’i, dan  ijtihad insya’i.














DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar