BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Masalah
Transformasi
pemikiran dan ijtihad merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan lainnya dalam kajian Hukum Islam ataupun Ilmu Ushul Fiqh, karena memang
kajian ilmu ini merupakan suatu pengkajian tentang metode yang digunakan dalam
menggali dan menetapkan hukum syar’i dari nash. Dengan demikian berarti
merupakan kumpulan kaidah metodologis yang titik beratnya menjelaskan tentang
tata cara mengambil hukum dari dalil-dalil syara’ termasuk di dalamnya kajian
tentang istimbath dan ijtihad. Kajian ini sangat kursial dalam pembahasan
metode ijtihad, karena melalui kajian ini seseorang mujtahid akan mengetahui
bagaimana tata cara mempergunakan dalil dan mengeluarkan hukum dari
dalil-dalilnya serta ketentuan umum yang ditempuh dalam menetapkan hukum dan
tujuan menetapkan hukum bagi subyek hukum (mukallaf).
Sebagaimana
yang diketahui bahwa dalam penetapan hukum banyak dijumpai tentang dalill-dalil
yang dipergunakan dalam penetapan hukum, urutan-urutan dalil dan sebagainya.
Demikian pula halnya ketika seorang Mujtahid membicarakan tentang penggalian
hukum diungkapkan mengenai tujuan penetapan hukum. Khitab Allah yang mengandung
ketentuan hukum merupakan aturan dasar yang bersifat garis besarnya saja.
Khitab
Allah SWT. merupakan aturan yang mengatur segenap pebuatan orang dewasa
(mukallaf) di muka bumi ini tentu ada aturan dasarnya. Jika tidak ditemukan
secara jelas dan pasti aturan dasar itu tentu akan ditemukan apa yang tersirat
dibalik khitab Allah itu, seandainya juga tidak ditemukan dari yang tersirat
itu akan ditemukan dalam kandungan maksud Allah dengan menggunakan metodologi
pengalian hukum atau yang dikenal dalam istilah terminologi hukum Islam dengan
Metode Istimbath Hukum Islam. Selanjutnya khitab Allah SWT. itu yang umumnya
bersifat aturan dasar, bersifat umum dan garis besar, agar ketentuan itu dapat
dilaksankan secara jelas dan praktis, maka diperlukan kecerdasan akal yang
populer dalam dalam istilah terminologi hukum Islam dengan Metode Ijtihad.
Dalam
realitas kehidupan hukum umat Islam penggalian dan perumusan (penemuan hukum)
yang telah dilakukan oleh imam mujtahid terkadang tanpak menimbulkan perbedaan
(ikhtilaf) bahkan tidak jarang menimbulkan umat Islam saling perang urat saraf,
di sisi lain kenyataanya kelihatan pula umat Islam anti terhadap perpecahan
sehingga tidak heran ada pula sebagian umat Islam menutup rapat-rapat pintu
ijtihad dan cukup berpegang dengan hasil ijtihad imam-imam terdahulu sehingga
memunculkan dalam dunia Islam sifat terpaku, meingikut dan statis (taqlid).
Akibatnya keadaan Hukum Umat Islam terasa kaku dan tidak mampu mejawab
kebutuhan hukum umat itu sendiri seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu
pengetahuan.
Namun
yang jelas kebutuhan umat Islam akan sebuah ketentuan hukum sangat diperlukan
relevan dengan berkembang ilmu pengetahuan dan tekhnologi mengikuti
perkembangan zaman. Pada tataran lain bahwa bukan hukum Islam itu yang kaku,
tapi fiqh itu yang telah usang, oleh karena itu perlu adanya ijtihad dalam
usaha penggalian hukum sejalan dengan perkembangan zaman.
Sebagaimana
yang penulis singgung di atas ternyata ijtihad tidak dapat dipisahkan terlebih
jika dilihat dalam konteks kekinian terutama jika dikaitkan dengan upaya
aktualisasi ajaran Islam yang bertujuan untuk mengasilkan pemikiran baru.
Makalah ini akan mencoba untuk menguraikan tentang kebutuhan ijtihad tersebut
dan bentuknya.
2. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian ijtihad?
2.
Sebutkan bentuk-bentuk ijtihad?
3.
Apa bentuk ijtihad yang digunakan pada jaman sekarang?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Ijtihad.
Secara
etimologis ijtihad berakar pada kata (ج - ه - د ) yang berarti “kesulitan atau
kesusahan.” Dari sudut ilmu sharf kata ijtihad bentuknya mengikuti timbangan
(se-wazan) (افتعال ) yang menunjukan arti “berlebih” (mubalaghah) dalam melaksankan
suatu perbuatan. Jadi segi bahasa arti ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan
segala kesungguhan atau upaya mengerahkan seluruh kemampuan intelektual dan
potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan. Rumusan singkatnya
berijitihad bukanlah kegiatan yang mudah atau ringan, tetapi mengandung
kesulitan serta membutuhkan pengerahan tenaga dan daya pikir yang maksimal.
Secara
terminologis ijtihad menurut ulama Ushul Fiqh ialah usaha seorang yang ahli
fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat
amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terperici. Abdul Wahab Khallaf
mendefnisikan ijtihad sebagai pengerahan daya upaya untuk sampai kepada hukum
syara’ dan dalil yang terinci, dengan sumber dari dalil-dalil syara’. Muhammad
Musa Tuwana juga memberikan defenisi yakni dalam pengerahan segala upaya ahli
hukum Islam dalam menggali hukum-hukum syara’ yang berstatus cabang dari
dalil-dalilnya.
Sedangkan
ijtihad dalam hal yang ada kaitannya dengan hukum adalah mengerahkan segala
kesanggupan yang dimiliki untuk dapat meraih hukum yang mengandung nilai-nilai
uluhiyah atau mengandung sebanyak mungkin nilai-nilai syari’ah Adapun Ijtihad
dalam bidang putusan hakim (qadh’) adalah jalan yang diikuti hakim dalam
menetapkan hukum, baik yang berhubungan dngan teks undang-undang maupun dengan
mengistinbathkan hukum yang wajib ditetapkan ketika ada nash.
2. Dasar Hukum
Ijtihad
Para
fuqOha boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar
hukum yang terdapat dalam nash Al-Quran. Ijtihad bisa dipandang sebagai salah
satu motode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan
dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun
berdasarkan isyarat. . Dasar hukum diperbolehkannya melakukan ijtihad antara
lain firman Allah SWT. QS. An-Nisa ayat 59 :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي
الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
﴿٥٩﴾
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dari
ayat tersebut dapat dipahami kobolehan melakukan ijihad dalam suatu persoalan yang
mungkin dalam fonomena kehidupan masyarakat dengan mengacu kepada aturan Allah
dan Rasul-Nya. Dan adanya keterangan hadits, yang mombolehkan berijtihad
diantaranya, hadits yang diriwayatkan oleh Umar :
اذا
حكم الحاكم فاجتهد فاصاب فله اجران واذا حكم ثم اخطاء فله اجر
Jika
seorang hakim menghukum sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua pahala, dan
bila salah maka ia mendapatkan satu pahala.
3. Syarat-syarat
Ijtihad.
Mujtahid
mengerahkan segala potensi yang ada padanya, kecerdasan akalnya, kehalusan
rasanya, keluasan imajinasinya, ketajaman intuisinya dan keutamaan kearifannya.
Sehingga hukum yang dihasilkannya merupakan hukum yang benar. Karena itu
seorang mujtahid harus memiliki syarat-syarat tertentu. Ada ulama yang
memberikan syarat yang sangat banyak dan ada pula yang hanya menentukan
beberapa syarat saja. Ukuran kualitas seorang mujtahid antara lain ditentukan
oleh syarat-syarat tersebut. Di antara syarat-syarat yang sangat penting adalah
:
1.
Mengetahui Al-Quran, As-Sunnah dan bahasa Arab dengan pengetahuan yang luas dan
mendalam.
2.
Mengetahui maqasid syari’ah, prinsip-prinsip umum dan semangat ajaran Islam.
3.
Mengetahui turuq al istitinbath Ushul Fiqh, metode menemukan hukum dan
menerapkan hukum, agar hukum hasil ijtihad lebih mendekati kepada kebenaran.
4.
Memiliki akhlak yang terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.
Melihat
syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, masih obyektifkah kita untuk
menerapkan syarat-syarat yang demikian itu, menurut Penulis harus
merekonstruksi syarat yang demikian berat karena suatuasi dan kondisi yang
berbeda dan berubah.
4. Tata Cara
Berijtihad.
Pada
prinsipnya ada tiga macam cara dalam melakukan berijtihad untuk menemukan
hukum, yaitu :
1.
Dengan cara memperhatikan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) seperti
kemungkinan-kemungkinan arti sesuatu kata, ruang lingkup kata, pemahaman
terhadap kata, gaya bahasa dan lain-lainnya.
2.
Dengan menggunakan kaidah-kaidah qiyas (analogi) dengan memperhatikan asal,
cabang, hukum asal dan ilat hukum.
3.
Dengan memperhatikan semangat ajaran Islam atau roh syariah. Untuk ini sangat
menentukan kaida-kaidah kulliyah Ushul Fiqh, kaidah-kaidah kulliyah Fiqiyah,
prinsip-prinsip umum hukum Islam dan dalil-dalil kulli.
5. Metode-metode
Dalam Berijtihad.
Sebagaimana
yang telah dikenal bahwa sumber hukum itu jika diurutkan adalah sebagai
Al-Quran, As-Sunnah dan Ijtihad. Kemudian ijma’, qiyas, istihsan, masalahah
mursalah, ‘uruf, istishab, dan lainnya digunakan dan ditempatkan sebagai metode
sumber hukum Islam dalam lapangan ijtihad. Metode dan pengertian secara singkat
diuraikan sebagai berikut :
1.
Qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti
menyamakan, membandingkan atau mengukur seperti menyamakan si A dengan si B,
karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yangsama, wajah
yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah
denganmeter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu
dengan yang lain denganmencari persamaan-persamaannya.Menurut para ulama ushul
fiqh, Qiyas ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwayang tidak ada
dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa
yanglain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan
'illat antara kedua kejadianatau peristiwa itu.
Misalnya hukum minum bir (disebut
far‟un) sama dengan hukum minum khamar
(disebut aslun), yaitu haram
(disebut hukum asal), karena keduanya sama-sama memabukan (disebut ilathukum).
Masalah-masalah yang boleh dilakukan dengan cara ini adalah masalah-masalah
atau kejadian-kejadian yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam Alquran dan
sunah.
2.
Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti
menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushulfiqh, ialah
meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian
yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari
peristiwa atau kejadian itu juga, karena adasuatu dalil syara' yang
mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaranistihsan.
Mujtahid yang dikenal banyak memakai Ishtihsan dalam mengistinbathkan hukum
adalahImam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Istihsan berbeda dengan qiyas.
Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama
belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya.
Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan
peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illatitu ditetapkanlah hukum
peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsanhanya
ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan
untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan
itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertamadianggap kuat, tetapi
kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan perkataan lain bahwa pada
qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa
atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling
tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
3.
Al-Maslahatul
Mursalah
Al-mashlahatul mursalah
adalah suatu kemaslahatan yang
tidak disinggung oleh syara' dan tidak
pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau
meninggalkannya, sedang jika dikerjakanakan mendatangkan kebaikan yang besar
atau kemaslahatan. Mashlahat mursalah disebut juga mashlahatyang mutlak karena
tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk
hukumdengan cara mashlahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia dengan artiuntuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan
kerusakan bagi manusia. Mujtahid yangdikenal banyak menggunakan metode
al-maslahah mursalah adalah Imam Hanbali dan Imam Malik.
4.
Istishhab
Istishhab menurut bahasa berarti "mencari
sesuatu yang ada hubungannya." Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah
tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau
kejadiansampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan
lain, ialah menyatakan tetapnyahukum pada masa yang lalu hingga ada dalil yang
mengubah ketetapan hukum itu.Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan
tetap berlakunya hukum yang telah ada darisuatu peristiwa, atau menyatakan
belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkanhukumnya. Sedang
menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan
padamasa lampau dan dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
5.
‘Urf
'Urf ialah sesuatu yang telah
dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalanganmereka baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat
(adatkebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan
pengertian antara 'urf denganadat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa
pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping
telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan dikalangan mereka,
seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap
orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli
dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli
ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang
yang dibelidan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang
pada salam barang yang akan dibeliitu belum ada wujudnya pada saat akad jual
beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapikarena telah menjadi
adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli,
makasalam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan
antara ijma' dengan 'urf, karenakeduanya sama-sama ditetapkan secara
kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada
suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para
mujtahidmembahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama.
Sedang pada 'urf bahwatelah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian
seseorang atau beberapa anggota masyarakatsependapat dan melaksanakannya. Hal
ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalumereka
mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga
merupakan hukumtidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma'
masyarakat melaksanakan suatu pendapatkarena para mujtahid telah
menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena merekatelah
biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.
6.
Syar’un
Man Qoblana
Yang
dimaksud dengan syar'un man qablana ialah syari'at yang dibawa para rasul
dahulu, sebelumdiutus Nabi Muhammad saw. yang menjadi petunjuk bagi kaum yang
mereka diutus kepadanya, sepertisyari'at Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi
Daud as, Nabi Isa as, dan sebagainya.Pada asas syari'at yang diperuntukkan
Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yangsama dengan syari'at yang
diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan pada firman
Allah SWT :
"Dia
(Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang Ia
wajibkan kepada Nuhdan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan
kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan)
agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya. (Q.s. asy-Syûra: 13
Diantara
asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang
hariakhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan
sebagainya. Mengenai perinciannyaatau detailnya ada yang sama dan ada yang
berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
7.
Sadudz
Dzariyah
Secara bahasa Saddudz dzarî'ah
tersusun dari dua kata, yaitu saddu dan dzarî'ah. Saddu berarti penghalang,
hambatan atau sumbatan, sedang dzarî'ah berarti jalan. Sedangkan secara istilah
berartimenghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju
kepada kerusakan atau maksiat.Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî'ah
ini ialah untuk memudahkan tercapainyakemaslahatan atau jauhnya kemungkinan
terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan
maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu
untuk mencapaikemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai
tujuan ini syari'at menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam
memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, adayang dapat dikerjakan
secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung,
perluada hal yang harus dikerjakan sebelumnya. Inilah yang dimaksud dengan
kaidah:“”Setiap sesuatu yang dapat
menyempurnakan terlaksananya kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib
pula."
Sebagai contoh ialah kewajiban
mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru dapatmengerjakan shalat itu
bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan
dapatmengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak wajib.
Tetapi karena ia menentukanapakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak,
sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal iniditetapkanlah hukum wajib
belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.Demikian pula
halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan
adayang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah
seperti minum khamar, berzinadan sebagainya. Yang dilarang secara tidak
langsung seperti membuka warung yang menjual minumkhamar, berkhalwat antara
laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi
perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar,maka perbuatan itu
dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan
kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama
dengan perbuatan yangsebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju
kearah perbuatan-perbuatan maksiat.
8.
Ijma’
Ijma' artinya kesepakatan yakni
kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukumdalam agama
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Ijma
'artinya kesepakatan-kesepakatan para ulama yakni dalam suatu menetapkan hukum-hukum
dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits Dalam Suatu perkara yang terjadi.
Adalah keputusan bersama yangdilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad
untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Adalahkeputusan bersama yang
dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk Kemudian dirundingkan
dandisepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama
dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat. Hasil dari ijma
adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulamadan ahli agama yang berwenang
untuk diikuti seluruh umat.
9.
Madzhab
Sahabah
Semasa RasululIah saw. masih
hidup semua masalah yang muncul atau timbul dalam masyarakatlangsung ditanyakan
para sahabat kepada RasululIah saw., dan RasululIah saw. memberikan jawaban dan
penyelesaiannya. Setelah RasululIah saw. meninggal dunia, maka kelompok sahabat
yang tergolong ahlidalam mengistinbathkan hukum telah berusaha sungguh-sungguh
memecahkan persoalan tersebut,sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai
dengan fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwasahabat ini diriwayatkan
oleh tabi'in, tabi'ut tabi'in dan orang-orang yang sesudahnya, seperti meriwayatkan
hadis. Karena itu timbul persoalan, apakah pendapat sahabat itu dapat dijadikan
hujjah atau tidak?Sebagian ulama menyatakan bahwa ada dua macam pendapat
sahabat yang dapat dijadikan hujjah,yaitu:
a. Pendapat para sahabat yang
diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dariRasulullah saw.,
karena pikiran tidak atau belum dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyiah ra "Kandungan
itu tidak akan lebih dari dua tahun dalam perut ibunya, (yaitu tidak akan)
lebih dari sepanjang bayang-bayang benda yang ditancapkannya." (H.R.
Ad-Daraquthni)
b.Pendapat sahabat yang tidak
bertentangan dengan sahabat lainnya, seperti pendapat tentang bahwa nenek
mendapat seperenam (1/6) bagian waris, yang dikemukakan oleh Abu Bakar,
dantidak ada sahabat yang tidak sependapat dengannya.Sedang pendapat sahabat
yang tidak disetujui oleh sahabat yang lain tidak dapat dijadikan
hujjah.Pendapat ini dianut oleh golongan Hanafiyah, Malikiyah dan hanabilah,
dan sebagian Syafi'iyah, namundidahulukan dari qiyas. Bahkan Ahmad bin Hanbal
mendahulukannya dari hadis mursal dan hadis dha'if.As-Syaukani menganggap
pendapat sahabat itu seperti pendapat para mujtahid yang lain, tidak
adakemestian untuk diikuti.
6. IJTIHAD MASA MODOREN.
Jika
dilihat pengertian ijtihad yang diberikan oleh para ulama Ushul Fiqh (baca :
bukan kontemporer), ternyata mereka membatasi ruang lingkup ijtihad kepada
persoalan hukum saja. Seseorang yang melakukan pengakajian di luar bidang hukum
Islam tidak disebut sebagai mujtahid. Pengertian tersebut terlalu jauh
melangkah dari pengertian atau makna ijtihad sesungghnya. Sebab pengkajian yang
dilakukan oleh para mujtahid dalam disiplin ilmu hukum tidak berbeda dengan
pengakajian yang dilakukanb oleh mujtahid dalam disiplin ilmu lain. Mereka juga
membutuhkan pengerahan daya upaya untuk mendapatkan hasil kajian yang mapan dan
benar, sebagaimana yang dibutuhkan oleh ulama-ulama yang bergerak dalam
disiplin ilmu hukum Islam.
Oleh
karena itu sebaiknya pengertian ijtihad dikembalikan kepada pengertian
etimologisnya, yakni segala daya upaya yang mengarah kepada pengakajian, baik
dalam ilmu hukum maupun ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu kalam atau ilmu
tasawuf, yang semuanya itu dikategorikan sebagai ijtihad. Dengan demikian,
orang yang terjun ke dalam pengakajian tersebut, dikategorikan sebagai
mujtahid. Kalaulah pengertian ijtihad disepadankan dengan pengertian
transpormasi pemikiran bahwa ijtihad dikemukakan terdahulu, dapat dipahami
bahwa ijtihad merupakan bagian dari transformasi pemikiran. Seorang mujtahid
tidak mutlak menjadi seorang tokoh transpormasi, tetapi seorang tokoh
transpormasi tergolong mujtahid. Oleh karena itu, ijtihad mempuyai kedudukan
yang sangat penting dalam upaya transpormasi pemikiran.
Mempertegas
perbedaan antara ijtihad dengan transpormasi pemikiran. DR. Yusuf Al-Qardhawi
menyatakan bahwa ijtihad lebih ditekakan dalam bidang pemikiran yang bersifat
ilmiah, sedangkan transpormasi pemikiran meliputi bidang pemikiran, sikap
mental, dan perilaku atau tindakan manusia yang meliputi bidang iman, ilmu, dan
amal. Dewasa ini dunia Islam sudah sangat memerlukukan adanya mujtahid dan
mujaddid yang profesional. Sebab, kehidupan masyarakat telah diwarnai dengan
inovasi di segala bidang, sedangkan nash-nash Al Quran dan Al Hadis tidak
menerangan segala persoalan secara tekstual. Dalam keadaan seperti itu, sangat
dibutuhkan pemikiran yang bersih dan penuh kesungguhan untuk mengembalikan
tatanan kehidupan yang sesuai dengan prinsip dasar ajaran Islam.
Persoalan
yang tidak memiliki dasar hukum, misalnya masalah bayi tabung, sewa rahim, bank
sprema, dan bursa efek. Sedangkan dalam persoalan yang sudah meiliki dasar
hukum, tetapi di dalamnya masih timbul problema baru yang rumit seperti
kepemimpinan wanita, hakim wanita, riba dan bunga bank, potong tangan bagi
pencuri, vasektomi dan tubektomi, tetap diperlukan hasil pemikiran. Secara
makro ijtihad merupakan sub transpormasi pemikiran, yang mempunyai arah dan
tujuan untuk mengantisipasi segala persoalan sosial-kemasyarakatan yang muncul
dalam dunia Islam sehingga eksistensi universalitas, kedinamisan, dan keluwesan
hukum Islam tetap dapat dipertahanakan.
Dalam
supremasi IPTEK dewasa ini, keahlian dalam ilmu tetentu sangat dibutuhkan dalam
perkembangan kebutuhan manusia dewasa ini. Seorang ulama atau ilmuwan, tidak
mungkin lagi menguasai pelbagai disiplin ilmu yang ada. Namun yang terpenting
adalah seorang mujtahid harus mengetahui masalah yang dihadapinya dan didukung
oleh pengetahuan yang dia miliki tentang masalah yang dihadapinya itu.
Misalnya, seorang yang berijtihad dalam masalah ekonomi harus ahli dibidang
ekonomi. Demikian pula dalam bidang kedoketeran, bidang politik dan lain-lain.
Syarat kehlian tertentu justru berkaitan dengan kualitas pribadi seorang
mujtahid.
Kompeleksitas
masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini menuntut para mujtahid untuk
berusaha mengantisipasi bentuk ijtihad. Pada dasarnya masalah-masalah yang
dihadapi itu telah ada dalam Al Quran dan Al Hadis. Tetapi, ada yang dijelaskan
secara tegas dan ada yang dijelaskan secara global, karenanya masih memerlukan
penalaran secara lebih mendalam. Permasalahan yang dihadapi umat Islam
diberbagai tempat bersifat kasustik, artinya tidak semua persoalan yang
dihadapi oleh umat Islam suatu tempat sama dengan permasalahan umat Islam di
tempat lain.
7. BENTUK IJTIHAD MASA MODOREN.
Dengan
demikian, pentingnya pemakaian ijtihad yang cocok dengan situasi dan kondisi
setempat, seperti bentuk-bentuk ijtihad di bawah ini :
1.
Ijtihad Intiqa’i.
Di
dalam Al Quran dan Al Hadis telah disebutkan patokan-patokan dasar ajaran
Islam. Patokan itu memberikan petunjuk bahwa Al Quran dan Al Hadis ada yang
bersifat absolut, ada yang bersifat relatif. Keberadaan nash yang mayoritas
bersifat relatif merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat para
ulama dalam memahami maknanya, sehingga hampir semua masalah keagamaan tidak
terlepas dari perbedaan-perbedaan pendapat.
Para
ulama terdahulu telah memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya, bukan
berarti bahwa apa yang mereka tetapkan atau hasilkan delam bentuk ijtihad itu,
adalah suatu ketetapan yang final untuk sepanjang masa. Tetapi perlu ditilik
kembali apakah sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Sedangkan para mujtahid
sekarang dituntut untuk mengadakan studi perbandingan di antara
pendapat-pendapat itu dan diteliti dalil-dalil yang dijadikan landasan.
Upaya
tersebut bukan berarti menolak pendapat para pendahulu kita, malainkan di
transpormasikan sesuai dengan perkembangan zaman. Kita tidak bisa berkomitmen
dalam suatu mazhab atau pendapat, melainkan kita harus meneliti secara
keseluruhan, agar bisa mendapatkan ketetapan yang kuat menurut pandangan kita
sekarang dan lebih sesuai dengan realitas masalah umat Islam.
2.
Ijtihad Insya’i.
Ijtihad
ini sangat diperlukan karena berbagai permasalahn yang timbul dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sekarang yang pernah terbetik
dalam hati para mujtahid terdahulu seperti organ tubuh, donor mata, inseminasi
buatan, dan sebagainya. Masalah-masalah ini raib dari pembahasan fiqh klasik
dan semuanya memerlukan pemecahan secara ijtihad.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta globalisasi dunia telah banyak membawa
pengaruh perubahan pola pikir dan sikap hidup masyarakat. Sikap rasional yang
menjadi ciri utama masyarakat moderen membuat praktik-praktik ilmu fiqh kurang
mampu lagi menjawab permasalah baru tersebut, bahkan kadangkala fiqh kaku
berhadapan dengan zaman kekinian.
3.
Ijtihad Komparatif.
Ijtihad
komparatif ialah mengabungkan kedua bentuk ijtihad di atas (intiqai dan
isnya’i). Dengan demikian di samping untuk menguatkan atau mengkopromikan
beberapa pendapat, juga diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan keluar
yang lebih sesuai dengan tuntunan zaman.
Pada
dasarnya hasil ijtihad yang dihasilkan oleh ulama terdahulu merupakan karya
agung tetap utuh, bukanlah menjadi patokan mutlak, melainkan masih memerlukan
ijtihad baru. Karena itu, diperlukan kemampuan memngutak-atik hasil sebuah
ijtihad, dengan jalam menggabungkan kedua bentuk ijtihad di atas.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari
uraian yang telah penulis paparkan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1.
Pengertian ijtihad perlu dikembalikan kepada pengertian etimologisnya, yakni
segala daya upaya yang mengarah kepada pengakajian, baik dalam ilmu hukum
maupun ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu kalam atau ilmu tasawuf, yang semuanya
itu dikategorikan sebagai ijtihad.
2.
Kompeleksitas masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini menuntut para
mujtahid untuk berusaha mengantisipasi bentuk ijtihad.
3.
Ijtihad yang cocok dengan situasi jaman sekarang, seperti bentuk-bentuk ijtihad
: ijtihad Intiqa’i, dan ijtihad insya’i.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar