Jumat, 23 September 2016

Bentuk Penyimpangan terhadap Sila ke Tiga Pancasila dan Penanganannya

BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG

Nilai yang terkandung dalam sila Persatuan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan keempat sila lainnya karena seluruh sila merupakan suatu kesatuan yang bersifat sistematis. Sila Persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Kesatuan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta mendasari dan dijiwai sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Persatuan dalam sila ketiga ini meliputi makna persatuan dan kesatuan dalam arti ideologis, ekonomi, politik, sosial budaya dan keamanan. Nilai persatuan ini dikembangkan dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia yang senasib. Nilai persatuan itu didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Perwujudan Persatuan Indonesia adalah manifestasi paham kebangsaan yang memberi tempat bagi keberagaman budaya atau etnis yang bukannya ditunjukkan untuk perpecahan namun semakin eratnya persatuan, solidaritas tinggi, serta rasa bangga dan kecintaan kepada bangsa dan kebudayaan.

B.     PERUMUSAN MASALAH

1.      Apa bentuk penyimpangan terhadap sila ketiga?
2.      Apa penyebab terjadinya penyimpangan terhadap sila ketiga?
3.      Bagaimana penanganan yang dilakukan untuk mengahadapi konflik atas penyimpangan sila ketiga?

C.     TUJUAN

Secara umum makalah ini bertujuan untuk menggambarkan tentang bagaimana saja bentuk penyimpangan terhadap sila ketiga Pancasila dan memberi informasi kepada semua orang agar menghindari hal-hal yang bertentangan dengan sila ke 3 Pancasila.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    NILAI DAN ISI KANDUNGAN SILA KETIGA PANCASILA

Nilai persatuan Indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia.
Isi kandungan dari sila ketiga Pancasila adalah :
a.    Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
b.    Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
c.    Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
d.    Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
e.    Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
f.     Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
g.    Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

B.     KASUS PENYIMPANGAN SILA KETIGA PANCASILA

Sila persatuan Indonesia menempatkan manusia Indonesia pada persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan Bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Menempatkan kepentingan negara dan kebangsa di atas kepentingan pribadi berarti manusia Indonesia sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan Neegara dan Bangsa bila diperlukan. Sikap rela berkorban untuj kepentingan negara dan bangsa, maka dikembangkanlah rasa kebangsaan dan bertanah air Indonesia, dalam rangka memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Persatuan dikembangkan atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dnegan memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan Bangsa Indonesia. Kasus yang menyimpang dari nilai sila ketiga ini diantaranya adalah :

B.1      DAYAK VS MADURA

Penduduk asli Kalimantan adalah Suku Dayak yang hidup sebagai petani dan nelayan. Selain suku asli, suku lainnya juga telah masuk ke bumi Kalimantan adalah Melayu, Cina, Madura, Bugis, Minang dan Batak.
Dalam berkomunikasi penduduk yang heterogen ini menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tetapi karena tingkat pendidikan mereka rendah, kebanyakan mereka memakai bahasa daerahnya masing-masing. Dengan demikian seringkali ditemui kesalahpahaman di antara mereka. Terlebih jika umumnya orang Madura yang keras ditangkap Orang Dayak sebagai kesombonan dan kekasaran.
Kebudayaan yang berbeda seringkali dijadikan penyebab timbulnya suatu konflik Dayak dan Madura yang terjadi pada akhir tahun 1996 yaitu terjadinya kasus
Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang (sebelum pertengahan tahun 1999 termasuk Kabupaten Sambas), di Kalimantan Barat.
Konflik sosial sepertinya agak sulit terpisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat Kalimantan. Setelah itu, pertikaian antar-etnis terjadi lagi di Sambas, lalu disusul di Kota Pontianak, dan terakhir di Sampit serta menyebar ke semua wilayah Kalimantan Tenngah.
Orang Dayak yang ramah dan lembut merasa tidak nyaman dengan karakter orang Madura yang tidak menghormati atau menghargai orang Dayak sebagai penduduk lokal yang menghargai hukum adatnya. Hukum adat memegang peranan penting bagi orang Dayak. Tanah yang mereka miliki adalah warisan leluhur yang harus mereka pertahankan. Seringkali mereka terkena tipu daya masyarakat pendatang yang akhirnya berhasil menguasai atau bahkan menyerobot tanah mereka. Perilaku dan tindakan masyarakat pendatang khususnya orang Madura menimbbulkan sentimen sendiri bagi orang Dayak yang menganggap mereka sebagai penjarah tanah mereka. Ditambah lagi dengan keberhasilan dan kerja keras orang Madura mengelola tanah dan menjadikan mereka sukses dalam bisnis pertanian.
Kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi merupakan dasar dari munculnya suatu konflik. Masyarakat Dayak juga mempunyai suatu ciri yang dominan dalam mata pencaharian yaitu kebanyakan bergantung pada khidupan bertani atau berladang. Dengan masuknya perusahaan kayu besar yang menggunduli kayu-kayu yang bernilai, sangatlah mendesak keberadaannya dalam bidang perekonomian. Perkebunan kelapa sawit yang menggantikannya lebih memilih pendatang sebagai pekerja daripada orang Dayak. Hal yang demikian menyebabkan masyarakat adatmerasa terpinggirkan atau tertinggalkan dalam kegiatan perekonomian penting di daerahnya mereka sendiri. Perilaku orang Madura terhadap orang Dayak dan keserakahan mereka yang telah menguras dan merusak alamnya menjadi salah satu dasar pemicu timbulnya konflik di antara merka.
Ketidakcocokan di antara karakter mereka menjadikan hubungan kedua etnis ini mudah menjadi suatu konflik. Ditambahn lagi dengan tidak adanya pemahaman dari kedua etnis terhadap latar belakang sosial budaya masing-masing etnis. Kecurigaan dan kebencian membuat hubungan keduanya menjadi tegang dan tidak harmonis.
Ketidakadilan juga dirasakan oleh masyarakat Dayak terhadap aparat keamanan yang tidak berlaku adil terhadap orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum. Permintaan mereka untuk menghukum orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum tidak diperhatikan oleh aparat penegak hukum. Hal ini pada akhirnya orang Dayak melakukan kekerasan langsung terhadap orang Madura, yaitu dengan penghancuran dan pembakaran pemukiman orang Madura.
Identitas yang terancam sebagai suatu suku asli Kalimantan yang terusik oleh kedatangan pendatang membuat suku Dayak mengambil sikap keras. Ditambah lagi dengan tidak adanya perubahan sukap dari masyarakat pendatang. Hal ini jelas terlihat pada dampak yang terjadi pasca konflik horizontal Dayak dan Madura. Mereka tidak melihat dampak dari kekerasan bagi masyarakat mereka sendiri yaitu korban jiwa dan harta benda, tetapi yang terpenting adalah keluarnya orang Madura dari wilayah mereka.
Ketidakharmonisan dalam interaksi sosial antara kedua etnis ini tidak cepat mendapat penanganan dari tokoh masyarakat setempat maupun oleh aparatur pemerintah agar dapat ditangani. Pada pertikaian yang terjadi terlihat adanya keberpihakan dari aparat kepada salah satu etnis menurut pendapat etnis lain. Kondisi ini terus berlanjut, yang pada akhirnya menjadi konflik terbuka berakar dan diiringi dengan kekerasan.
Konflik dipicu oleh persoalan yang sederhana, menjadi kerusuhan dan diidentifikasi pemicu pecahnya konflik adalah adanya benturan budaya etnis lokal dan etnis pendatang, lemahnya supremasi hukum, adanya tindak kekerasan. Benturan budaya ini sebenarnya lebih banyaj disebabkan oleh kesombongan dan ketidakpedulian etnis Madura terhadap hukum adat dan budaya lokal yang sangat dihormati masyarakat setempat seperti hak atas kepemilikan tanah.

PERISTIWA PEMICU TRAGEDI SAMPIT DAYAK VS MADURA

Menengok kembali peristiwa lama yang mungkin termasuk pemicu terjadinya Tragedi Sadis di Sampit berdasarkan informasi yang beredar adalah :

·           Tahun 1972 di Palangkaraya, seorang gadis Dayak diperkosa. Terhadap kejadian itu diadakan penyelsaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat.
·           Tahun 1982 terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan atau penyelesaian secara hukum tidak ada.
·           Tahun 1983 di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak dibunuh. Perkelahian anatara satu orang Dayak dkeroyok oleh tiga puluh orang Madura. Terhadap pembunuhan warga Kasongan bernama Pulai yang beragama Kaharingan tersebut, oleh tokoh suku Dayak dan Madura diadakan perdamaian. Dilakukan peniwahan Pulai itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan, yang kemudian diadakan perdamaian diatandatangani oleh kedua belah pihak, isinya anatara lain menyatakan apabila orang Madura menyatakan apabila orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari KalTeng
·           Tahun 1997 di Tumbang, Samba, Ibukota Kecamatan Katingan Tengah seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh Suku Madura tukang jualan sate. Sibelia Dayak mati secara mengenaskan, tubuhnya terdapat 30 tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur. Si korban Waldi hanya kebetulan lewat di tempat kejadian saja.
·           Tahun 1999 di Palangka Raya seorang Tibum (Ketertiban Umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya ditahan di Polresta Palangka Raya, namun besoknya datang sekelompok suku Madura menuntut agar temannya dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata pihak Polresta Palangka Raya membebaskannya tanpa tuntutan hukum.
·           Tahun 1999 di Pangkut, Ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat terjadi perkelahian massal dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang Emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada kedua belah pihak tanpa penyelesaian hukum.
·           Tahun 1999 di Tumbang Samba, terjadi pernikahan terhadap suami-istri bernama Iba oleh tiga orang Madura. Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya. Biaya operasi dan perawatan ditanggung Pemda KalTeng. Namun para pembacok tidak ditangkap, karena sudah pulang ke pulau Madura. Kronologis kejadian tiga orang Madura memasuki rumah keluarga Iba dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu Iba menuangkan air di gelas mereka membacoknya, saat istri iba mau membela juga ditikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat.
·           Tahun 2000 di Palangka Raya satu orang suku Dayak dibunuh oleh pengeroyok suku Madura di depan Gereja Immanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari tanpa proses hukum. Dan masih banyak lagi pemicu-pemicu konflik lainnya.

B.2      KELUARNYA PAPUA DARI NKRI

Jakarta, PelitaOnline – Ketua Solidaritas Kemanusiaan untuk Papua, Frans Tomoki meminta agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertanggungjawab atas pelanggaran HAM di Papua. Jika Pemerintahan SBY-Boedijono ini tidak bertanggungjawab, maka ia mengancam akan keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Kami ingin Papua berdiri di atasnkakinya sendiri untuk menentukan nasib rakyatnya. Kalau pemerintah tidak memperhatikan kami, biarkan kami keluar dari NKRI,” kata Frans saat jumpa pers di Kontras, Jakarta, Selasa (1/11)
Menurutnya para anggota militer yang ada di Papua hanya bisa membuat rakyat Papua menjadi tidak aman lantaran terlalu represif dalam bertindak demi kepentingan PT. Freeport Indonesia. Militer, kata dia. Juga membawa kesejahteraan bagi rakyat di Bumi Cendrawasih.
“Militer terlalu diskriminatif untuk warga Papua. Seharusnya berlaku adil. Kami hanya ingin mandiri,” pintanya tegas.
Dia menjelaskan, Kapolsek Mulia Papua, Dominggus Awes, yang ditembak di bandara merupakan jaringan Organisasi Papua Merdeka (OPM) gadungan yang dipelihara oleh militer.
“Itu OPM gadungan, yang memang sengaja dipelihara oleh militer untuk mengalihkan isu, terkait meninggalnya buruh Freeport yang menuntut kenaikan gaji,” jelas dia.
Dia mengakui bahwa warga Papua mendapatkan perlakuan diskriminatif dari negeri ini. Padahal Papua merupakan bagian dari NKRI.
“Bagi Bangsa Papua, sudah jelas untuk menentukan nasib. Bagi saya lebih baik Papua menentukan nasibnya sendiri.

B.3      BANYAKNYA ALIRAN SESAT YANG MUNCUL

JEMBER– Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jember menangani sebanyak lima kasus aliran sesat di kabupaten setempat, yang semuanya bisa diatasi tanpa kekerasan. Ketua MUI Jember bidang Fatwa dan Hukum, Abdullah Samsul Arifin, Selasa menuturkan, pihaknya banyak menerima keluhan dari masyarakat terkait dengan adanya aliran sesat yang meresahkan di sejumlah daerah. “Kami menangani sebanyak lima kasus aliran sesat selama beberapa pekan terakhir, namun semuanya bisa diatasi tanpa ada aksi kekerasan,” tutur Abdullah yang akrab disapa Gus Aab. Menurut dia, faktor yang menyebabkan timbulnya aliran sesat, antara lain keterbatasan keilmuan yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan dan motivasi pelaksanaan ibadah yang kurang tepat.
“MUI Jember selalu melakukan dialog dan membina penganut aliran sesat itu, agar kembali ke jalan yang benar sesuai ajaran agama Islam,” ucap Gus Aab yang juga Ketua PCNU Jember. Kasus aliran sesat yang terbaru adalah aliran yang diasuh oleh Yayasan Qodriyatul Qosimiyah di Kecamatan Wuluhan karena ucapan kalimat syahadat tersebut menyimpang dari ajaran agama Islam. Anggota MUI Jember lainnya, Baharudin Rosyid, menambahkan biasanya tokoh aliran sesat tersebut bukan berasal dari kalangan intelektual, dan mencari terobosan baru yang mudah diikuti oleh masyarakat. “Biasanya mereka masih mencari jati diri tentang agama Islam, seperti yang dilakukan Yayasan Qodriyatul Qosimiyah yang mengarang buku kitab kuning sendiri, sehingga menyalahi ajaran Islam dan sudah dinyatakan sesat oleh MUI Jember,” tuturnya. Menurut Baharudin yang juga Pembina Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jember, kriteria aliran sesat antara lain mengingkari salah satu dari enam rukun iman dan lima rukun Islam, menyakini atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al Quran dan sunnah, dan meyakini turunnya wahyu setelah Al Quran. “Saya mengimbau masyarakat tidak main hakim sendiri dan bertindak anarkhis, apabila ada aliran yang diduga sesat dan menyimpang dari ajaran agama Islam. Lebih baik dilaporkan ke tokoh agama setempat atau MUI Jember,” katanya, menambahkan.(republika.co.id)

C.    PENANGANAN KONFLIK PADA KASUS PENYIMPANGAN SILA KETIGA PANCASILA

Dari tiga kasus diatas memang harus ada tindakan tegas dari pemerintah dan pihak yang berwenang, guna terciptanya keamanan dan keharmonisan dalam keanekaragaman di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Adapun penanganan yang dilakukan untuk mengatasi konflik di atas adalah sebagai berikut :

C.1      KASUS DAYAK VS MADURA
·        Untuk sementara waktu yang tidak dapat ditentukan batasnya, etnis Dayak dan Melayu sepakat tidak menerima kembali etnis Madura di bumi Kalimantan terutama di daerah konflik . Hal ini dilakukan agar tidak terjadi bentrokan di antara mereka karena sangat rentan tersulut oleh isu yang akan membakar kemarahan kedua belah pihak.
·        Rehabilitasi bangunan yang rusak akibat pengrusakan dan pembakaran terhadap infrastruktur masyarakat umum juga dilakukan agar dapat berjalannya kegiatan masyarakat sebagaimana mestinya. Moral dan mental masyarakat juga perlu mendapat perhatian dan pembinaan agar terwujud suatu rekonsiliasi yang damai dan melibatkan kembali seluruh tokoh masyarakat.
·        Re-evakuasi dilakukan bagi korban konflik ke daerah yang lebih aman. Untuk itu perhatian terhadap keamanan mereka di daerah pengungsian harus didukung oleh pihak keamanan sampai mereka mendapat tempat yang layak.
·        Dialog antar etnis yang berkesinambungan dengan memanfaatkan lembaga adat masyarakat perlu dilakukan dalam proses pembentukan kerjasama mengakhiri konflik yang berkepanjangan.
·        Demikian juga dengan penegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum perlu dilakukan secara konsisten dan adil tanpa berpihak pada etnis tertentu selain itu kemampuan personil petugas keamanan perlu ditingkatkan.

                 C.2      KASUS KELUARNYA PAPUA DARI NKRI
Dalam kasus keluarnya papua seharusnya pemerintah dapat menghimbau kepada seluruh menteri-menterinya untuk Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus, menghilangkan kesempatan untuk berkembangnya primodialisme sempit pada setiap kebijaksanaan dan kegiatan, agar tidak terjadi KKN,dan juga menumpas setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi.



C.3      KASUS BANYAKNYA ALIRAN SESAT YANG MUNCUL
Adanya tindakan tegas untuk membubarkan aliran yang dapat menyesatkan umat islam, dan jika tetap membantah maka harus diberikan hukuman yang dapat menimbulkan efek jera. Bisa juga dilakukan dengan melakukan pendekatan secara spiritual.











































BAB III
PENUTUPAN
D.     KESIMPULAN

Telah kita ketahui bersama bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak ragam budaya yang berbeda-beda dari setiap suku daerah yang berbeda pula. Perbedaan itu sendiri justru memberikan kontribusi yang cukup besar pada citra bangsa Indonesia. Kebudayaan dari tiap-tiap suku daerah inilah yang menjadi penyokong dari terciptanya budaya nasional Indonesia.
Identitas budaya nasional kita saat ini memang belum jelas selain hanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan Pancasila sebagai filosofi atau pandangan hidup bangsa.
Selain itu, perbedaan juga akan menyulut terjadinya sebuah konflik jika para pelakunya tidak dapat mengendalikan emosi mereka masing-masing. Lingkungan dan masyarakat sangatlah menentukan bagaimana sebuah kebudayaan itu tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Manusia sebagai pelaku dan pencipta kebudayaan mengatur perkembangan budaya, dan budaya sebagai fenomena sosial citapaan manusia mendidik manusia itu sendiri untuk mengerti dan memahami tentang keadaan sosial masyarakatnya. itulah yang disebut dengan dialektika atau saling ketergantungan antara manusia dengan kebudayaan.
Ancaman lain yang turut serta datang dan membahayakan kebudayaan bangsa adalah budaya asing yang terbawa dalam arus globalisasi. Kebudayaan dalam konteks Nasional saja masih bisa berbeda, apalagi kebudayaan yang datang dari luar konteks tersebut, jelas sangat berbeda. Seiring dengan berjalannya waktu, manusia akan mengikuti budaya yang sedang marak dan mulai melupakan budaya nenek moyang mereka, walaupun pada hakikatnya manusia tidak dapat bebas dari budayanya sendiri.
Jika kita melihat bangsa Indonesia pada masa lalu, maka yang ada di benak kita adalah sebuah pertanyaan ’mengapa bagsa Indonesia dapat menunjukkan kesatuaannya saat itu dan sekarang tidak?’. Hal itu terjadi karena seluruh komponen masyarakat mengalami nasib yang, yaitu dalam masa penjajahan. Sekarang, rasa persatuan tersebut hanya dapat kita lihat dalam beberapa kejadian saja di mana seluruh komponen masyarakat Indonesia kembali merasa senasib, sepenanggungan, dan seperjuangan. Dalam permainan sepak bola misalnya. Baik masyarakat Jawa, Batak, Minang, Sunda, dan masyarakat budaya Indonesia lainnya akan mendukung tim sepak bola Indonesia dengan rasa kesatuannya, yaitu Indonesia, bukan Bugis, Madura atau suku-suku lainnya.
Dengan kata lain, kebudayaan Nasional Indonesia tidak bisa hanya diukur dengan salah satu budaya daerah saja. Kepemimpinan menurut suku Jawa akan berbeda dengan kepemimpinan menurut suku Asmat dan juga suku yang lainnya. Kebudayaan Nasional Indonesia harusnya bersifat umum yang bisa diikuti oleh semua suku-suku bangsa Indonesia, dan bukan menggunakan budaya di mana pusat pemerintahan itu dijalankan. Pusat hanya menjadi fasilitator, bukan educator. Hal inilah yang dibutuhkan bangsa Indonesia dalam membentuk kebudayaan Nasionalnya.

E.     SARAN

Nilai-nilai dan identitas kebudayaan daerah yang menjadi citra bangsa, yang juga merupakan sebagai alat untuk mempertahankan harga diri bangsa ini mulai luntur. Masyarakat mulai enggan mengenali budaya nenek moyang mereka. Padahal, sebagaimana yang telah tertulis, bahwa kebudayaan daerah adalah dasar dari kebudayaan nasional.
Oleh karena itu, demi terbentuknya kebudayaan Nasional yang benar-benar dapat menyatukan kembali seluruh komponen budaya bangsa, perlu kita mempelajari dan mengenal lebih dalam lagi tentang sejarah dan warisan-warisn budaya kita, dan juga demi mencari jati diri yang bhineka itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar