BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Nilai yang terkandung dalam sila Persatuan
Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan keempat sila lainnya karena seluruh
sila merupakan suatu kesatuan yang bersifat sistematis. Sila Persatuan
Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Kesatuan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab serta mendasari dan dijiwai sila Kerakyatan yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan dan Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Persatuan dalam sila ketiga ini meliputi makna
persatuan dan kesatuan dalam arti ideologis, ekonomi, politik, sosial budaya
dan keamanan. Nilai persatuan ini dikembangkan dari pengalaman sejarah bangsa
Indonesia yang senasib. Nilai persatuan itu didorong untuk mencapai kehidupan
kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Perwujudan
Persatuan Indonesia adalah manifestasi paham kebangsaan yang memberi tempat
bagi keberagaman budaya atau etnis yang bukannya ditunjukkan untuk perpecahan
namun semakin eratnya persatuan, solidaritas tinggi, serta rasa bangga dan
kecintaan kepada bangsa dan kebudayaan.
B. PERUMUSAN MASALAH
1.
Apa bentuk penyimpangan terhadap sila ketiga?
2.
Apa penyebab terjadinya penyimpangan terhadap
sila ketiga?
3.
Bagaimana penanganan yang dilakukan untuk
mengahadapi konflik atas penyimpangan sila ketiga?
C. TUJUAN
Secara umum makalah ini bertujuan untuk menggambarkan tentang
bagaimana saja bentuk penyimpangan terhadap sila ketiga Pancasila dan memberi
informasi kepada semua orang agar menghindari hal-hal yang bertentangan dengan
sila ke 3 Pancasila.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
NILAI DAN ISI KANDUNGAN SILA KETIGA PANCASILA
Nilai persatuan Indonesia mengandung makna usaha ke
arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan
menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia.
Isi kandungan dari sila ketiga Pancasila adalah :
a.
Mampu
menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan
negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
b.
Sanggup dan
rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
c.
Mengembangkan
rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
d.
Mengembangkan
rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
e.
Memelihara
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
f.
Mengembangkan
persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
g.
Memajukan
pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
B.
KASUS
PENYIMPANGAN SILA KETIGA PANCASILA
Sila persatuan Indonesia menempatkan manusia Indonesia
pada persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan Bangsa dan Negara
di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Menempatkan kepentingan negara dan kebangsa di atas
kepentingan pribadi berarti manusia Indonesia sanggup dan rela berkorban untuk
kepentingan Neegara dan Bangsa bila diperlukan. Sikap rela berkorban untuj
kepentingan negara dan bangsa, maka dikembangkanlah rasa kebangsaan dan
bertanah air Indonesia, dalam rangka memelihara ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Persatuan
dikembangkan atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dnegan memajukan pergaulan demi
kesatuan dan persatuan Bangsa Indonesia. Kasus yang menyimpang dari nilai sila
ketiga ini diantaranya adalah :
B.1 DAYAK VS
MADURA
Penduduk asli Kalimantan adalah Suku Dayak yang hidup
sebagai petani dan nelayan. Selain suku asli, suku lainnya juga telah masuk ke
bumi Kalimantan adalah Melayu, Cina, Madura, Bugis, Minang dan Batak.
Dalam berkomunikasi penduduk yang heterogen ini
menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tetapi
karena tingkat pendidikan mereka rendah, kebanyakan mereka memakai bahasa
daerahnya masing-masing. Dengan demikian seringkali ditemui kesalahpahaman di
antara mereka. Terlebih jika umumnya orang Madura yang keras ditangkap Orang
Dayak sebagai kesombonan dan kekasaran.
Kebudayaan yang berbeda seringkali dijadikan penyebab
timbulnya suatu konflik Dayak dan Madura yang terjadi pada akhir tahun 1996
yaitu terjadinya kasus
Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang (sebelum pertengahan tahun 1999 termasuk
Kabupaten Sambas), di Kalimantan Barat.
Konflik sosial sepertinya agak sulit terpisahkan dari
dinamika kehidupan masyarakat Kalimantan. Setelah itu, pertikaian antar-etnis
terjadi lagi di Sambas, lalu disusul di Kota Pontianak, dan terakhir di Sampit
serta menyebar ke semua wilayah Kalimantan Tenngah.
Orang Dayak yang ramah dan lembut merasa tidak nyaman
dengan karakter orang Madura yang tidak menghormati atau menghargai orang Dayak
sebagai penduduk lokal yang menghargai hukum adatnya. Hukum adat memegang
peranan penting bagi orang Dayak. Tanah yang mereka miliki adalah warisan
leluhur yang harus mereka pertahankan. Seringkali mereka terkena tipu daya
masyarakat pendatang yang akhirnya berhasil menguasai atau bahkan menyerobot
tanah mereka. Perilaku dan tindakan masyarakat pendatang khususnya orang Madura
menimbbulkan sentimen sendiri bagi orang Dayak yang menganggap mereka sebagai
penjarah tanah mereka. Ditambah lagi dengan keberhasilan dan kerja keras orang
Madura mengelola tanah dan menjadikan mereka sukses dalam bisnis pertanian.
Kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi merupakan dasar
dari munculnya suatu konflik. Masyarakat Dayak juga mempunyai suatu ciri yang
dominan dalam mata pencaharian yaitu kebanyakan bergantung pada khidupan
bertani atau berladang. Dengan masuknya perusahaan kayu besar yang menggunduli
kayu-kayu yang bernilai, sangatlah mendesak keberadaannya dalam bidang
perekonomian. Perkebunan kelapa sawit yang menggantikannya lebih memilih
pendatang sebagai pekerja daripada orang Dayak. Hal yang demikian menyebabkan
masyarakat adatmerasa terpinggirkan atau tertinggalkan dalam kegiatan
perekonomian penting di daerahnya mereka sendiri. Perilaku orang Madura
terhadap orang Dayak dan keserakahan mereka yang telah menguras dan merusak
alamnya menjadi salah satu dasar pemicu timbulnya konflik di antara merka.
Ketidakcocokan di antara karakter mereka menjadikan
hubungan kedua etnis ini mudah menjadi suatu konflik. Ditambahn lagi dengan
tidak adanya pemahaman dari kedua etnis terhadap latar belakang sosial budaya
masing-masing etnis. Kecurigaan dan kebencian membuat hubungan keduanya menjadi
tegang dan tidak harmonis.
Ketidakadilan juga dirasakan oleh masyarakat Dayak
terhadap aparat keamanan yang tidak berlaku adil terhadap orang Madura yang
melakukan pelanggaran hukum. Permintaan mereka untuk menghukum orang Madura
yang melakukan pelanggaran hukum tidak diperhatikan oleh aparat penegak hukum.
Hal ini pada akhirnya orang Dayak melakukan kekerasan langsung terhadap orang
Madura, yaitu dengan penghancuran dan pembakaran pemukiman orang Madura.
Identitas yang terancam sebagai suatu suku asli
Kalimantan yang terusik oleh kedatangan pendatang membuat suku Dayak mengambil
sikap keras. Ditambah lagi dengan tidak adanya perubahan sukap dari masyarakat pendatang.
Hal ini jelas terlihat pada dampak yang terjadi pasca konflik horizontal Dayak
dan Madura. Mereka tidak melihat dampak dari kekerasan bagi masyarakat mereka
sendiri yaitu korban jiwa dan harta benda, tetapi yang terpenting adalah
keluarnya orang Madura dari wilayah mereka.
Ketidakharmonisan dalam interaksi sosial antara kedua
etnis ini tidak cepat mendapat penanganan dari tokoh masyarakat setempat maupun
oleh aparatur pemerintah agar dapat ditangani. Pada pertikaian yang terjadi
terlihat adanya keberpihakan dari aparat kepada salah satu etnis menurut
pendapat etnis lain. Kondisi ini terus berlanjut, yang pada akhirnya menjadi
konflik terbuka berakar dan diiringi dengan kekerasan.
Konflik dipicu oleh persoalan yang sederhana, menjadi
kerusuhan dan diidentifikasi pemicu pecahnya konflik adalah adanya benturan
budaya etnis lokal dan etnis pendatang, lemahnya supremasi hukum, adanya tindak
kekerasan. Benturan budaya ini sebenarnya lebih banyaj disebabkan oleh
kesombongan dan ketidakpedulian etnis Madura terhadap hukum adat dan budaya
lokal yang sangat dihormati masyarakat setempat seperti hak atas kepemilikan
tanah.
PERISTIWA
PEMICU TRAGEDI SAMPIT DAYAK VS MADURA
Menengok kembali peristiwa lama yang mungkin termasuk
pemicu terjadinya Tragedi Sadis di Sampit berdasarkan informasi yang beredar
adalah :
·
Tahun 1972
di Palangkaraya, seorang gadis Dayak diperkosa. Terhadap kejadian itu diadakan
penyelsaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat.
·
Tahun 1982
terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak
tertangkap, pengusutan atau penyelesaian secara hukum tidak ada.
·
Tahun 1983
di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak dibunuh.
Perkelahian anatara satu orang Dayak dkeroyok oleh tiga puluh orang Madura.
Terhadap pembunuhan warga Kasongan bernama Pulai yang beragama Kaharingan
tersebut, oleh tokoh suku Dayak dan Madura diadakan perdamaian. Dilakukan peniwahan
Pulai itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan, yang kemudian diadakan
perdamaian diatandatangani oleh kedua belah pihak, isinya anatara lain
menyatakan apabila orang Madura menyatakan apabila orang Madura mengulangi
perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari KalTeng
·
Tahun 1997 di Tumbang, Samba, Ibukota Kecamatan
Katingan Tengah seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh Suku Madura
tukang jualan sate. Sibelia Dayak mati secara mengenaskan, tubuhnya terdapat 30
tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda
yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur. Si korban Waldi hanya
kebetulan lewat di tempat kejadian saja.
·
Tahun 1999
di Palangka Raya seorang Tibum (Ketertiban Umum) dibacok oleh orang Madura,
pelakunya ditahan di Polresta Palangka Raya, namun besoknya datang sekelompok
suku Madura menuntut agar temannya dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata pihak
Polresta Palangka Raya membebaskannya tanpa tuntutan hukum.
·
Tahun 1999
di Pangkut, Ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat terjadi
perkelahian massal dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura memaksa mengambil
emas pada saat suku Dayak menambang Emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan
korban pada kedua belah pihak tanpa penyelesaian hukum.
·
Tahun 1999
di Tumbang Samba, terjadi pernikahan terhadap suami-istri bernama Iba oleh tiga
orang Madura. Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus,
Palangka Raya. Biaya operasi dan perawatan ditanggung Pemda KalTeng. Namun para
pembacok tidak ditangkap, karena sudah pulang ke pulau Madura. Kronologis
kejadian tiga orang Madura memasuki rumah keluarga Iba dengan dalih minta
diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu Iba menuangkan
air di gelas mereka membacoknya, saat istri iba mau membela juga ditikam.
Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah
alamat.
·
Tahun 2000
di Palangka Raya satu orang suku Dayak dibunuh oleh pengeroyok suku Madura di
depan Gereja Immanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari tanpa proses hukum. Dan
masih banyak lagi pemicu-pemicu konflik lainnya.
B.2 KELUARNYA PAPUA DARI NKRI
Jakarta, PelitaOnline – Ketua Solidaritas Kemanusiaan untuk Papua, Frans
Tomoki meminta agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertanggungjawab
atas pelanggaran HAM di Papua. Jika Pemerintahan SBY-Boedijono ini tidak
bertanggungjawab, maka ia mengancam akan keluar dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). “Kami ingin Papua berdiri di atasnkakinya sendiri untuk
menentukan nasib rakyatnya. Kalau pemerintah tidak memperhatikan kami, biarkan
kami keluar dari NKRI,” kata Frans saat jumpa pers di Kontras, Jakarta, Selasa (1/11)
Menurutnya
para anggota militer yang ada di Papua hanya bisa membuat rakyat Papua menjadi
tidak aman lantaran terlalu represif dalam bertindak demi kepentingan PT.
Freeport Indonesia. Militer, kata dia. Juga membawa kesejahteraan bagi rakyat
di Bumi Cendrawasih.
“Militer
terlalu diskriminatif untuk warga Papua. Seharusnya berlaku adil. Kami hanya
ingin mandiri,” pintanya tegas.
Dia menjelaskan, Kapolsek Mulia Papua, Dominggus Awes,
yang ditembak di bandara merupakan jaringan Organisasi Papua Merdeka (OPM)
gadungan yang dipelihara oleh militer.
“Itu OPM
gadungan, yang memang sengaja dipelihara oleh militer untuk mengalihkan isu,
terkait meninggalnya buruh Freeport yang menuntut kenaikan gaji,” jelas dia.
Dia mengakui bahwa warga Papua mendapatkan perlakuan
diskriminatif dari negeri ini. Padahal Papua merupakan bagian dari NKRI.
“Bagi Bangsa
Papua, sudah jelas untuk menentukan nasib. Bagi saya lebih baik Papua
menentukan nasibnya sendiri.
B.3 BANYAKNYA
ALIRAN SESAT YANG MUNCUL
JEMBER– Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Jember menangani sebanyak lima kasus aliran sesat di
kabupaten setempat, yang semuanya bisa diatasi tanpa kekerasan. Ketua MUI
Jember bidang Fatwa dan Hukum, Abdullah Samsul Arifin, Selasa menuturkan,
pihaknya banyak menerima keluhan dari masyarakat terkait dengan adanya aliran
sesat yang meresahkan di sejumlah daerah. “Kami menangani sebanyak lima kasus
aliran sesat selama beberapa pekan terakhir, namun semuanya bisa diatasi tanpa
ada aksi kekerasan,” tutur Abdullah yang akrab disapa Gus Aab. Menurut dia,
faktor yang menyebabkan timbulnya aliran sesat, antara lain keterbatasan
keilmuan yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan dan motivasi pelaksanaan
ibadah yang kurang tepat.
“MUI Jember
selalu melakukan dialog dan membina penganut aliran sesat itu, agar kembali ke
jalan yang benar sesuai ajaran agama Islam,” ucap Gus Aab yang juga Ketua PCNU
Jember. Kasus aliran sesat yang terbaru adalah aliran yang diasuh oleh Yayasan
Qodriyatul Qosimiyah di Kecamatan Wuluhan karena ucapan kalimat syahadat
tersebut menyimpang dari ajaran agama Islam. Anggota MUI Jember lainnya,
Baharudin Rosyid, menambahkan biasanya tokoh aliran sesat tersebut bukan
berasal dari kalangan intelektual, dan mencari terobosan baru yang mudah
diikuti oleh masyarakat. “Biasanya mereka masih mencari jati diri tentang agama
Islam, seperti yang dilakukan Yayasan Qodriyatul Qosimiyah yang mengarang buku
kitab kuning sendiri, sehingga menyalahi ajaran Islam dan sudah dinyatakan
sesat oleh MUI Jember,” tuturnya. Menurut Baharudin yang juga Pembina Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Jember, kriteria aliran sesat antara lain mengingkari salah
satu dari enam rukun iman dan lima rukun Islam, menyakini atau mengikuti aqidah
yang tidak sesuai dengan Al Quran dan sunnah, dan meyakini turunnya wahyu setelah
Al Quran. “Saya mengimbau masyarakat tidak main hakim sendiri dan bertindak
anarkhis, apabila ada aliran yang diduga sesat dan menyimpang dari ajaran agama
Islam. Lebih baik dilaporkan ke tokoh agama setempat atau MUI Jember,” katanya,
menambahkan.(republika.co.id)
C. PENANGANAN KONFLIK PADA KASUS PENYIMPANGAN SILA KETIGA
PANCASILA
Dari tiga kasus diatas memang harus ada tindakan tegas
dari pemerintah dan pihak yang berwenang, guna terciptanya keamanan dan
keharmonisan dalam keanekaragaman di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Adapun penanganan yang dilakukan untuk mengatasi konflik di atas adalah sebagai
berikut :
C.1 KASUS DAYAK VS MADURA
·
Untuk
sementara waktu yang tidak dapat ditentukan batasnya, etnis Dayak dan Melayu
sepakat tidak menerima kembali etnis Madura di bumi Kalimantan terutama di
daerah konflik . Hal ini dilakukan agar tidak terjadi bentrokan di antara
mereka karena sangat rentan tersulut oleh isu yang akan membakar kemarahan
kedua belah pihak.
·
Rehabilitasi
bangunan yang rusak akibat pengrusakan dan pembakaran terhadap infrastruktur
masyarakat umum juga dilakukan agar dapat berjalannya kegiatan masyarakat
sebagaimana mestinya. Moral dan mental masyarakat juga perlu mendapat perhatian
dan pembinaan agar terwujud suatu rekonsiliasi yang damai dan melibatkan
kembali seluruh tokoh masyarakat.
·
Re-evakuasi
dilakukan bagi korban konflik ke daerah yang lebih aman. Untuk itu perhatian
terhadap keamanan mereka di daerah pengungsian harus didukung oleh pihak
keamanan sampai mereka mendapat tempat yang layak.
·
Dialog antar
etnis yang berkesinambungan dengan memanfaatkan lembaga adat masyarakat perlu
dilakukan dalam proses pembentukan kerjasama mengakhiri konflik yang
berkepanjangan.
·
Demikian
juga dengan penegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum perlu dilakukan
secara konsisten dan adil tanpa berpihak pada etnis tertentu selain itu
kemampuan personil petugas keamanan perlu ditingkatkan.
C.2 KASUS
KELUARNYA PAPUA DARI NKRI
Dalam kasus
keluarnya papua seharusnya pemerintah dapat menghimbau kepada seluruh
menteri-menterinya untuk Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran
dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun
konsensus, menghilangkan kesempatan untuk berkembangnya primodialisme sempit pada
setiap kebijaksanaan dan kegiatan, agar tidak terjadi KKN,dan juga menumpas
setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi.
C.3 KASUS
BANYAKNYA ALIRAN SESAT YANG MUNCUL
Adanya
tindakan tegas untuk membubarkan aliran yang dapat menyesatkan umat islam, dan
jika tetap membantah maka harus diberikan hukuman yang dapat menimbulkan efek
jera. Bisa juga dilakukan dengan melakukan pendekatan secara spiritual.
BAB III
PENUTUPAN
D. KESIMPULAN
Telah kita ketahui bersama bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang memiliki banyak ragam budaya yang berbeda-beda dari setiap
suku daerah yang berbeda pula. Perbedaan itu sendiri justru memberikan
kontribusi yang cukup besar pada citra bangsa Indonesia. Kebudayaan dari
tiap-tiap suku daerah inilah yang menjadi penyokong dari terciptanya budaya
nasional Indonesia.
Identitas budaya nasional kita saat ini memang
belum jelas selain hanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan Pancasila
sebagai filosofi atau pandangan hidup bangsa.
Selain itu, perbedaan juga akan menyulut
terjadinya sebuah konflik jika para pelakunya tidak dapat mengendalikan emosi
mereka masing-masing. Lingkungan dan masyarakat sangatlah menentukan bagaimana
sebuah kebudayaan itu tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat itu sendiri.
Manusia sebagai pelaku dan pencipta kebudayaan mengatur perkembangan budaya,
dan budaya sebagai fenomena sosial citapaan manusia mendidik manusia itu
sendiri untuk mengerti dan memahami tentang keadaan sosial masyarakatnya.
itulah yang disebut dengan dialektika atau saling ketergantungan antara manusia
dengan kebudayaan.
Ancaman lain yang turut serta datang dan
membahayakan kebudayaan bangsa adalah budaya asing yang terbawa dalam arus
globalisasi. Kebudayaan dalam konteks Nasional saja masih bisa berbeda, apalagi
kebudayaan yang datang dari luar konteks tersebut, jelas sangat berbeda.
Seiring dengan berjalannya waktu, manusia akan mengikuti budaya yang sedang
marak dan mulai melupakan budaya nenek moyang mereka, walaupun pada hakikatnya
manusia tidak dapat bebas dari budayanya sendiri.
Jika kita melihat bangsa Indonesia pada masa
lalu, maka yang ada di benak kita adalah sebuah pertanyaan ’mengapa bagsa
Indonesia dapat menunjukkan kesatuaannya saat itu dan sekarang tidak?’. Hal itu
terjadi karena seluruh komponen masyarakat mengalami nasib yang, yaitu dalam
masa penjajahan. Sekarang, rasa persatuan tersebut hanya dapat kita lihat dalam
beberapa kejadian saja di mana seluruh komponen masyarakat Indonesia kembali
merasa senasib, sepenanggungan, dan seperjuangan. Dalam permainan sepak bola
misalnya. Baik masyarakat Jawa, Batak, Minang, Sunda, dan masyarakat budaya
Indonesia lainnya akan mendukung tim sepak bola Indonesia dengan rasa
kesatuannya, yaitu Indonesia, bukan Bugis, Madura atau suku-suku lainnya.
Dengan kata lain, kebudayaan Nasional Indonesia
tidak bisa hanya diukur dengan salah satu budaya daerah saja. Kepemimpinan
menurut suku Jawa akan berbeda dengan kepemimpinan menurut suku Asmat dan juga
suku yang lainnya. Kebudayaan Nasional Indonesia harusnya bersifat umum yang
bisa diikuti oleh semua suku-suku bangsa Indonesia, dan bukan menggunakan
budaya di mana pusat pemerintahan itu dijalankan. Pusat hanya menjadi
fasilitator, bukan educator. Hal inilah yang dibutuhkan bangsa Indonesia dalam
membentuk kebudayaan Nasionalnya.
E. SARAN
Nilai-nilai dan identitas kebudayaan daerah yang
menjadi citra bangsa, yang juga merupakan sebagai alat untuk mempertahankan
harga diri bangsa ini mulai luntur. Masyarakat mulai enggan mengenali budaya
nenek moyang mereka. Padahal, sebagaimana yang telah tertulis, bahwa kebudayaan
daerah adalah dasar dari kebudayaan nasional.
Oleh karena itu, demi terbentuknya kebudayaan
Nasional yang benar-benar dapat menyatukan kembali seluruh komponen budaya
bangsa, perlu kita mempelajari dan mengenal lebih dalam lagi tentang sejarah
dan warisan-warisn budaya kita, dan juga demi mencari jati diri yang bhineka
itu.