Aku lahir dari keluarga yang biasa saja. Tidak ada keturunan ningrat, pegawai pemerintahan, kiayi ataupun tokoh-tokoh penting dalam sejarah keluargaku.
Ayahku seorang buruh biasa, banyak menganggurnya malah kata nenekku. Ibuku buka usaha warung di rumah dan dia juga bisa menjahit dan membordir. Multitalent woman, strong woman, inspirated woman I ever have. Yeah, it's you mom :*
Di rumah aku tinggal dengan ayah, ibu, nenek dan kakek dari ibu, bibi adik ibu, dan kakak laki-lakiku. Sebelah rumah kami adalah tempat tinggal kakek dan nenek dari ayah. Kakek dari ayah punya usaha bikin kecap dan orang yang cukup berada. Dan memiliki anak 6.
Sebenernya ayah dan ibu masih ada ikatan saudara. Sepupuan gitu. Jaman dulu sistem Siti Nurbaya itu masih berlaku aja :( Ibu kala itu dijodohkan dengan ayah yang selisih usianya 11 tahun. Ibu menikah saat usia 16th, dan ayah usia 27th.
Sejak kecil aku memang kurang teurus katanya :'( sedih bgt yah! Ibu yang sangat sibuk cari uang untuk menghidupi keluarga, ayah bekerja sebagai buruh di jakarta. Nenek dan bibiku juga membantu ibu mengurusi warung. Ibu juga sambil mengurusi jahhitan dan bordiran dari tetangga sekitar. Super busy woman! Sangat berbanding terbalik dengan ayah yang kurang pekerja keras, malas, dan cenderung menerima nasib yang ada.
Oh ya karena warung ku ada di seberang pesantren, pelanggannya pun banyak. Terutama santri-santri yang makan dan jajan di warung kami. Makanya warung kami laris sekali. Sehingga aku kurang terurus dengan telaten juga :') Yang momong aku siapa aja, kebanyakan santriawan dan santriawati yang memang mau beli sesuatu ke warung. Kalo aku udah dimandiin, dibajuin, dibedakin, pokoknya udah wangi. Aku ditaro aja di depan halaman rumah. Udah standbye aja gitu :') Entar mah siapa aja yang nyomot terus momong aku :')
Aku tumbuh dan berkembang di kampung ini sekitar 3,5 tahun. Karena keluargaku kemudian pindah ke kampung sebelah karena suatu alasan.
Siang itu cuaca cerah seperti biasa. Dagangan sudah terbaris rapi. Gorengan-gorengan sudah tertata lengkap di wadah siap untuk dijual. Entah ada angin apa tiba-tiba hari itu pelanggan ga ada satupun yang datang. Santri ga ada satupun yang beli. Sepi! Istilahnya lalatpun ga ada yang lewat saking sepinya!
Hari sebelumnya warung rameeee sekali santri pada makan dan jajan diwarung, sampe masuk ke dalem rumah karena kurangnya bangku untuk duduk diwarung. Hanya untuk sekedar lewat aja susah. Dan besoknya, berbeda sangat berbeda! Hari-hari berikutnya pun sama, semuanya ga masuk akal. Aneh. Misterius!
Akhirnya keluargaku bertanya pada seorang "ajengan" (bukan dukun, bukan paranormal) yang memang sudah tersohor kala itu di sekitar kampungku.
Dan memang katanya ada yang iri terhadap usaha ibuku. Ada yang menaruh sesuatu di atas atap rumah yang membuat usaha bangkrut. Dan yang menaruhnya adalah adik ayah sendiri. Entah siapa yang menyuruhnya. Padahal ibu sangat membantu keluarga ayah, adik-adik ayah, keponakan-keponakan ayah. Mereka ikut makan pun ke ibu.
Saat itu ayah menganggur, ga punya kerjaan. Dari jakarta pulang ke rumah dan ga bisa menghasilkan apa-apa. Ibu marah karena ayah tidak mau berusaha. Seadanya mengandalkan ibu, tergantung kepada perempuan. Sedangkan ibu sendiri yang menghidupi seisi jiwa yang ada di rumah.
Ayah tiap hari menggantungkan hidup pada ibu, semuanya ibu yang tanggung, dan ibu yang menafkahi. Belum anak-anak, orangtua dan saudaranya.
Ayah hendak mengambil sebungkus rokok dilaci, ibu langsung melarang untuk mengambilnya. Karena ibu sudah sangat cape menghadapi sikap ayah yang setiap harinya seperti itu. Bersikap seenaknya dan ga bertanggungjawab sedikitpun. Ayah ngamuk sangat menjadi. Seisi rumah kaget karena ayah menjatuhkan lemari peralatan rumah tangga. Piring, gelas, dan barang lain jatuh pecah dan berserakan dilantai. Lemari pun terbalik. Ibu yang sangat ketakutan kala itu lari dari rumah dan pergi ke arah "cileeur" (sungai) yang ada diujung sawah sana. Cileeur itu merupakan penghubung antara kampung kelahiranku dan kampung tempat pindah aku nanti, Ibu lari sekencang-kencangnya karena sangat ketakutan melihat sikap ayah yang seperti itu. Sebelumnya tidak pernah mengamuk semenakutkan itu. Akhirnya sampailah ibu di rumah Ni Omoh adik nenek dari ibuku. Ia bercerita atas apa yang terjadi, dan ia meminta saran untuk hubungan rumah tangganya dengan ayah. Ibu sudah hampir menyerah, ingin berpisah. Tapi saran Ni Omoh jangan dulu berpisah, kasihan anak-anak yang masih kecil. Ibu disarankan untuk pindah ke kampung Ni Omoh saja. Rumah yang di Turalak sudah tidak baik lagi terlebih menghidar dari ayah dan amukannya.
Ibu mengungsi sendiri ke rumah Ni Omoh. Aku dan Kakakku masih tinggal di Turalak. Ibu seperti hilang semangat, stres, dan sangat banyak beban. Tapi ibu adalah sosok yang sangat bertanggungjawab terhadap keluarga dan anak-anaknya. Apapun akan ibu pertaruhkan demi mereka semua.
Setelah ayah sadar dan sudah di obati oleh "ajengan" yang biasa kami mintai pertolongan. Dengan baik-baik kami pindah ke kampung sebelah. Kini di rumah baru kami ada ayah, ibu, nenek, bibi, aku dan kakakku. Kakek tidak langsung ikut karena memang tidak memungkinkan. Kakek sakit. Sakitnya berbeda dengan penyakit dzohir yang biasa. Ia sakit akalnya, batinnya. Setiap hari mengumpulkan barang bekas dengan tujuan yang ga jelas. Sudah menumpuk di rumah kami yang di Turalak semenjak ditinggal pindah. Hidup pun tidak normal, senang memakai pakaian yang sudah lusuh ga pernah ganti. Mandi tidak pernah mau. Dan sakitnya ini ga bisa disembuhin :'( Bayangin aja sakitnya udah dimulai dari bibikku masih belajar merangkak dikala bayi. Sekarang bibiku 40 tahun :'( Penyakit yang ga ada obatnya, kadang kami kasian tapi kebanyakan kesal dan menjengkelkan :( Ga tau harus digimanain. Sakitnya kakek ini adalah bentuk ujian kepada keluarga kami, bentuk ujian sebuah kesabaran :)
Di usia ke 3,5 tahun aku hijrah ke tempat baru, lingkungan baru, tetangga baru dan siap memulai kehidupan baru. Bangunsirna, Iya itu kampung tempat tempat tinggalku sekarang :)
*bersambung
Mohon maaf atas kalimat yang kurang tertata :')
Tidak ada komentar:
Posting Komentar